Intisari Tauhid [163]
LARANGAN MENGATAKAN: AS-SALÂMU ‘ALALLÂH ‘SEMOGA KESELAMATAN BAGI ALLAH’
Dalam Ash-Shahîh dari Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
“Kami pernah melakukan shalat bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam, dan dalam shalat tersebut kami mengatakan, ‘Semoga keselamatan
untuk Allah dari hamba-hamba-Nya, keselamatan untuk Fulân dan Fulân,’
maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَقُولُوا: السَّلَامُ عَلَى اللهِ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ السَّلَامُ
‘Janganlah kalian mengucapkan, ‘As-salâmu ‘alallâh ‘semoga keselamatan
untuk Allah’,’ karena sesungguhnya Allah adalah As-Salâm ‘Maha Pemberi
Keselamatan’.’.”
Tatkala
memberi salam kepada seseorang maknanya adalah memohonkan keselamatan
baginya dari segala kejelekan dan kerusakan, maka (dengan sebab itu)
terlarang untuk mengucapkan, “As-Salâm ‘alallâh ‘semoga keselamatan bagi
Allah’,” karena Dialah Yang Maha Kaya, Maha Selamat dari segala
kerusakan dan kekurangan. Dialah yang diseru bukan yang diserukan
(didoakan) untuk-Nya, Dia yang diminta dari-Nya bukan yang dimintakan
untuk-Nya. Maka, pada bab ini terdapat kewajiban untuk menyucikan Allah
dari sifat memerlu¬kan dan sifat kekurangan, juga terdapat penyifatan
Allah dengan sifat kaya dan sifat kesempurnaan.
Ibnu Mas’ûd
radhiyallâhu ‘anhu mengabarkan bahwa, dahulu, para shahabat mengucapkan
taslim (memintakan keselamatan) untuk Allah. Kemudian Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam melarang mereka terhadap hal itu dan menjelaskan
kepada mereka bahwa hal tersebut tidak pantas untuk Allah. Karena, Allah
adalah As-Salâm ‘Maha Pemberi Keselamatan’ dan dari Allah jualah semua
keselamatan sehingga Dia tidak pantas dimintakan keselamatan. Bahkan,
Dialah Yang memberi keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan menyelamatkan
mereka dari segala kerusakan.
Dalam hadits ini terdapat larangan dari mengucapkan, “As-salâm ‘alallâh ‘semoga keselamatan atas Allah’.”
Faedah Hadits
1. Larangan dari mengucapkan, “As-salâm ‘alallah.”
2. Bahwa As-Salâm adalah termasuk nama-nama Allah.
3. Memberikan pelajaran kepada orang yang jahil.
4. Menggandengkan hukum dengan alasan penetapannya.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]
Ust. Dzulqarnain
Sekadar untuk berbagi informasi dan menyampaikan ilmu pengetahuan seputar Islamiyah.....Semoga bermanfaat, barokallahufikh.....
Senin, 25 Mei 2015
CELAAN TERHADAP ORANG YANG GAMPANG BERSAKSI
Intisari Tauhid [184]
CELAAN TERHADAP ORANG-ORANG YANG GAMPANG BERSAKSI
Dalam Ash-Shahîh dari ‘Imrân bin Hushain radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ)، قَالَ عِمْرَانُ: فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا. (ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ، وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ، وَيَنْذُرُونَ وَلَا يُوفُونَ، وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ
“Sebaik-baik umatku adalah (mereka yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya -‘Imrân berkata, ‘Aku tidak ingat lagi apakah beliau menyebut sebanyak dua atau tiga kali setelah masa beliau.’-. Kemudian, sesudah kalian, akan ada orang-orang yang bersaksi tanpa diminta. Mereka berkhianat dan tidak amanah. Mereka bernadzar, tetapi tidak memenuhi (nadzar)nya, dan mereka tampak gemuk.”
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa sebaik-baik umat ini adalah tiga generasi yaitu shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, karena tampaknya (kuatnya) Islam pada mereka dan dekatnya mereka dengan cahaya kenabian. Kemudian setelah generasi yang utama ini, muncullah kejelekan pada umat tersebut, bertambah banyak kebid’ahan, meremehkan persaksian, menggampangkan amanah dan nadzar, bersenang-senang dengan dunia serta lalai dari akhirat. Munculnya amalan-amalan yang tercela ini menunjukkan lemahnya keislaman mereka.
Pada hadits ini terdapat celaan terhadap orang-orang yang bergampangan dalam bersaksi, yang mana persaksian itu termasuk salah satu jenis sumpah.
Faedah Hadits
1. Keutamaan tiga atau empat generasi pertama, yaitu shahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka.
2. Tercelanya (sikap) gegabah dalam bersaksi.
3. Tercelanya meremehkan nadzar dan kewajiban menunaikan nadzar.
4. Tercelanya mengkhianati amanah dan anjuran untuk menyampai¬kannya.
5. Tercelanya sikap bersenang-senang dan cinta kepada dunia serta berpaling dari akhirat.
6. Adanya salah satu tanda kenabian shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau mengabarkan sesuatu sebelum terjadinya, kemudian hal itu terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]
Ust. Dzulqarnain
CELAAN TERHADAP ORANG-ORANG YANG GAMPANG BERSAKSI
Dalam Ash-Shahîh dari ‘Imrân bin Hushain radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ)، قَالَ عِمْرَانُ: فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا. (ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ، وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ، وَيَنْذُرُونَ وَلَا يُوفُونَ، وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ
“Sebaik-baik umatku adalah (mereka yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya -‘Imrân berkata, ‘Aku tidak ingat lagi apakah beliau menyebut sebanyak dua atau tiga kali setelah masa beliau.’-. Kemudian, sesudah kalian, akan ada orang-orang yang bersaksi tanpa diminta. Mereka berkhianat dan tidak amanah. Mereka bernadzar, tetapi tidak memenuhi (nadzar)nya, dan mereka tampak gemuk.”
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa sebaik-baik umat ini adalah tiga generasi yaitu shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, karena tampaknya (kuatnya) Islam pada mereka dan dekatnya mereka dengan cahaya kenabian. Kemudian setelah generasi yang utama ini, muncullah kejelekan pada umat tersebut, bertambah banyak kebid’ahan, meremehkan persaksian, menggampangkan amanah dan nadzar, bersenang-senang dengan dunia serta lalai dari akhirat. Munculnya amalan-amalan yang tercela ini menunjukkan lemahnya keislaman mereka.
Pada hadits ini terdapat celaan terhadap orang-orang yang bergampangan dalam bersaksi, yang mana persaksian itu termasuk salah satu jenis sumpah.
Faedah Hadits
1. Keutamaan tiga atau empat generasi pertama, yaitu shahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka.
2. Tercelanya (sikap) gegabah dalam bersaksi.
3. Tercelanya meremehkan nadzar dan kewajiban menunaikan nadzar.
4. Tercelanya mengkhianati amanah dan anjuran untuk menyampai¬kannya.
5. Tercelanya sikap bersenang-senang dan cinta kepada dunia serta berpaling dari akhirat.
6. Adanya salah satu tanda kenabian shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau mengabarkan sesuatu sebelum terjadinya, kemudian hal itu terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]
Ust. Dzulqarnain
PERINGATAN BILA MEREMEHKAN SUMPAH DAN PERSAKSIAN
Intisari Tauhid [185]
PERINGATAN BILA MEREMEHKAN SUMPAH DAN PERSAKSIAN
Juga di dalam (Ash-Shahîh) dari Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, (beliau berkata) bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah (mereka yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya lagi. Selanjutnya, akan datang kaum yang kesaksiannya mendahului sumpah salah seorang di antara mereka, sedang sumpahnya mendahului kesaksiannya.”
Ibrahim berkata, “Dahulu, mereka (para orang tua) biasa memukuli kami karena kesaksian dan sumpah (yang kami berikan) ketika kami masih kecil.”
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa yang paling baik dari umat ini adalah tiga generasi pertama. Kemudian datang sesudah mereka orang-orang yang menggampangkan perkara sumpah dan persaksian, karena lemahnya keimanan mereka. Sehingga menjadi remeh bagi mereka untuk membawa dan menyampaikan perkara sumpah dan persaksian, karena sedikitnya rasa takut mereka kepada Allah dan tidak adanya keperdulian mereka terhadap perkara tersebut.
Ibrahim An-Nakha’iy mengabarkan tentang para tabi’in, bahwa mereka mentalqin anak-anak kecil di kalangan mereka untuk mengagungkan (menganggap besar) masalah persaksian dan perjanjian, supaya mereka tumbuh dalam keadaan seperti itu dan tidak meremehkan perkara sumpah dan persaksian.
Dalam hadits ini terdapat peringatan dari meremehkan perkara sumpah dan persaksian.
Faedah Hadits
1. Bahwa generasi-generasi yang utama adalah tiga, dan mereka adalah yang terbaik pada umat ini.
2. Tercelanya sikap gegabah dalam sumpah dan persaksian.
3. Adanya salah satu tanda kenabian beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa didapatkan apa yang telah beliau kabarkan.
4. Perhatian salaf dalam mendidik anak-anak kecil dan mengajarkan adab kepada mereka.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]
Ust. Dzuqarnain M. Sunusi
PERINGATAN BILA MEREMEHKAN SUMPAH DAN PERSAKSIAN
Juga di dalam (Ash-Shahîh) dari Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, (beliau berkata) bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik manusia adalah (mereka yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya lagi. Selanjutnya, akan datang kaum yang kesaksiannya mendahului sumpah salah seorang di antara mereka, sedang sumpahnya mendahului kesaksiannya.”
Ibrahim berkata, “Dahulu, mereka (para orang tua) biasa memukuli kami karena kesaksian dan sumpah (yang kami berikan) ketika kami masih kecil.”
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa yang paling baik dari umat ini adalah tiga generasi pertama. Kemudian datang sesudah mereka orang-orang yang menggampangkan perkara sumpah dan persaksian, karena lemahnya keimanan mereka. Sehingga menjadi remeh bagi mereka untuk membawa dan menyampaikan perkara sumpah dan persaksian, karena sedikitnya rasa takut mereka kepada Allah dan tidak adanya keperdulian mereka terhadap perkara tersebut.
Ibrahim An-Nakha’iy mengabarkan tentang para tabi’in, bahwa mereka mentalqin anak-anak kecil di kalangan mereka untuk mengagungkan (menganggap besar) masalah persaksian dan perjanjian, supaya mereka tumbuh dalam keadaan seperti itu dan tidak meremehkan perkara sumpah dan persaksian.
Dalam hadits ini terdapat peringatan dari meremehkan perkara sumpah dan persaksian.
Faedah Hadits
1. Bahwa generasi-generasi yang utama adalah tiga, dan mereka adalah yang terbaik pada umat ini.
2. Tercelanya sikap gegabah dalam sumpah dan persaksian.
3. Adanya salah satu tanda kenabian beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa didapatkan apa yang telah beliau kabarkan.
4. Perhatian salaf dalam mendidik anak-anak kecil dan mengajarkan adab kepada mereka.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]
Ust. Dzuqarnain M. Sunusi
Iman adalah Ucapan, Keyakinan dan Amalan, Bertambah karena Ketaatan dan Berkurang karena Kemaksiatan
Iman adalah Ucapan, Keyakinan dan Amalan, Bertambah karena Ketaatan dan Berkurang karena Kemaksiatan:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Iman itu memiliki 70 lebih atau 60 lebih bagiannya, yang paling afdhal adalah ucapan 'laa ilaaha illallah' dan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan rasa malu adalah bagian dari keimanan." [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafaz ini milik Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]
Beberapa Pelajaran:
1) Keutamaan kalimat tauhid “laa ilaaha illallah”.
• Kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” Bermakna,
لا معبودَ حقٌّ إلا الله
“Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.”
Artinya, segala sesuatu yang disembah oleh manusia selain Allah ta’ala adalah sesembahan yang salah (batil), karena tidak ada sesembahan yang benar (haq) kecuali Allah tabaraka wa ta’ala. Sebagaimana firman Allah ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain dari Allah adalah salah.” [Al-Hajj: 62 dan Luqman: 30]
• Kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” Memiliki Dua Rukun:
Pertama: An-Nafyu (Penafikan) yang terkandung dalam kalimat “la ilaaha”, maknanya adalah menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah ta’ala.
Kedua: Al-Itsbat (Penetapan) yang terkandung dalam kalimat “illallah”, maknanya adalah menetapkan atau meyakini hanya Allah satu-satunya yang pantas diibadahi.
Sebagaimana firman Allah ta'ala
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan ikatan yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” [Al-Baqarah: 256]
Firman Allah ta’ala, “Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah)” adalah penafikan seluruh sesembahan selain Allah ta’ala. Adapun firman-Nya, “Dan hanya beriman kepada Allah” adalah penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar.
• Hanya Islam yang Mengajarkan Tauhid, Membenarkan Agama Selain Islam Berarti Membenarkan Kekafiran dan Kesyirikan:
Islam satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya agama yang diridhoi di sisi Allah tabaraka wa ta'ala hanyalah Islam, sebab hanya Islam yang mengajarkan tauhid "laa ilaaha illallah". Dan semua agama selain adalah salah, karena mengajarkan kesyirikan dan kekufuran kepada Allah jalla wa 'ala dan mengajarkan berbagai kemungkaran lainnya.
Allah ta'ala berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الإِسْلاَم
“Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanya Islam.” [Ali Imron: 19]
Allah ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima dari padanya, dan ia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali Imron: 85]
2) Amalan bagian dari keimanan, oleh karena itu iman menurut Ahlus Sunnah adalah, “Mengucapkan dengan lisan, meyakini dengan hati dan mengamalkan dengan anggota tubuh” maka iman mencakup tiga perkara: Ucapan, keyakinan dan amalan; dapat bertambah dan berkurang, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasi rahimahullah berkata,
الإيمان قول وعمل والإيمان قول باللسان وعمل بالأركان، وعقد بالجنان، يزيد بالطاعة وينقص بالعصيان
"Iman adalah ucapan dan amalan, iman mencakup ucapan lisan, amalan anggota tubuh dan keyakinan hati, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan." [Lum’atul I’tiqod, hal. 26]
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
وأعتقد أن الإيمان قول باللسان، وعمل بالأركان، واعتقاد بالجنان؛ يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية، وهو بضع وسبعون شعبة؛ أعلاها شهادة أن لا إله إلا اللَّه، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق.
"Aku meyakini bahwa iman adalah mengucapkan dengan lisan, mengamalkan dengan anggota tubuh dan meyakini dengan hati, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan, dan cabangnya ada 70 lebih, yang tertinggi adalah syahadat laa ilaaha illallah (tiada yang berhak disembah kecuali Allah) dan yang terendah adalah mengeluarkan duri dari jalan." [Ushulul Iman, hal. 15]
3) Keimanan manusia bertingkat-tingkat dan hendaklah setiap hamba selalu berusaha meningkatkan keimanan dengan menempuh sebab-sebabnya, serta menjaganya agar tidak berkurang dengan menjauhi sebab-sebabnya.
4) Keutamaan menyingkirkan segala sesuatu yang mengganggu di jalan.
5) Keutamaan sifat malu, yaitu malu berbuat maksiat kepada Allah ta’ala atau malu melakukan sesuatu yang tidak pantas. Adapun malu dalam melakukan ketaatan atau malu mengamalkan sunnah maka itu tercela dan lebih layak disebut kelemahan, bukan rasa malu.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Ust. Sofyan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Iman itu memiliki 70 lebih atau 60 lebih bagiannya, yang paling afdhal adalah ucapan 'laa ilaaha illallah' dan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan rasa malu adalah bagian dari keimanan." [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafaz ini milik Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]
Beberapa Pelajaran:
1) Keutamaan kalimat tauhid “laa ilaaha illallah”.
• Kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” Bermakna,
لا معبودَ حقٌّ إلا الله
“Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.”
Artinya, segala sesuatu yang disembah oleh manusia selain Allah ta’ala adalah sesembahan yang salah (batil), karena tidak ada sesembahan yang benar (haq) kecuali Allah tabaraka wa ta’ala. Sebagaimana firman Allah ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain dari Allah adalah salah.” [Al-Hajj: 62 dan Luqman: 30]
• Kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” Memiliki Dua Rukun:
Pertama: An-Nafyu (Penafikan) yang terkandung dalam kalimat “la ilaaha”, maknanya adalah menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah ta’ala.
Kedua: Al-Itsbat (Penetapan) yang terkandung dalam kalimat “illallah”, maknanya adalah menetapkan atau meyakini hanya Allah satu-satunya yang pantas diibadahi.
Sebagaimana firman Allah ta'ala
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan ikatan yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” [Al-Baqarah: 256]
Firman Allah ta’ala, “Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah)” adalah penafikan seluruh sesembahan selain Allah ta’ala. Adapun firman-Nya, “Dan hanya beriman kepada Allah” adalah penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar.
• Hanya Islam yang Mengajarkan Tauhid, Membenarkan Agama Selain Islam Berarti Membenarkan Kekafiran dan Kesyirikan:
Islam satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya agama yang diridhoi di sisi Allah tabaraka wa ta'ala hanyalah Islam, sebab hanya Islam yang mengajarkan tauhid "laa ilaaha illallah". Dan semua agama selain adalah salah, karena mengajarkan kesyirikan dan kekufuran kepada Allah jalla wa 'ala dan mengajarkan berbagai kemungkaran lainnya.
Allah ta'ala berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الإِسْلاَم
“Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanya Islam.” [Ali Imron: 19]
Allah ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima dari padanya, dan ia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali Imron: 85]
2) Amalan bagian dari keimanan, oleh karena itu iman menurut Ahlus Sunnah adalah, “Mengucapkan dengan lisan, meyakini dengan hati dan mengamalkan dengan anggota tubuh” maka iman mencakup tiga perkara: Ucapan, keyakinan dan amalan; dapat bertambah dan berkurang, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasi rahimahullah berkata,
الإيمان قول وعمل والإيمان قول باللسان وعمل بالأركان، وعقد بالجنان، يزيد بالطاعة وينقص بالعصيان
"Iman adalah ucapan dan amalan, iman mencakup ucapan lisan, amalan anggota tubuh dan keyakinan hati, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan." [Lum’atul I’tiqod, hal. 26]
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
وأعتقد أن الإيمان قول باللسان، وعمل بالأركان، واعتقاد بالجنان؛ يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية، وهو بضع وسبعون شعبة؛ أعلاها شهادة أن لا إله إلا اللَّه، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق.
"Aku meyakini bahwa iman adalah mengucapkan dengan lisan, mengamalkan dengan anggota tubuh dan meyakini dengan hati, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan, dan cabangnya ada 70 lebih, yang tertinggi adalah syahadat laa ilaaha illallah (tiada yang berhak disembah kecuali Allah) dan yang terendah adalah mengeluarkan duri dari jalan." [Ushulul Iman, hal. 15]
3) Keimanan manusia bertingkat-tingkat dan hendaklah setiap hamba selalu berusaha meningkatkan keimanan dengan menempuh sebab-sebabnya, serta menjaganya agar tidak berkurang dengan menjauhi sebab-sebabnya.
4) Keutamaan menyingkirkan segala sesuatu yang mengganggu di jalan.
5) Keutamaan sifat malu, yaitu malu berbuat maksiat kepada Allah ta’ala atau malu melakukan sesuatu yang tidak pantas. Adapun malu dalam melakukan ketaatan atau malu mengamalkan sunnah maka itu tercela dan lebih layak disebut kelemahan, bukan rasa malu.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Ust. Sofyan
TERLAKNAT KARENA TATO, CUKUR ALIS, MERENGGANGKAN GIGI & MEMAKAI RAMBUT PALSU
Terlaknat Karena Tato, Cukur Alis, Merenggangkan Gigi dan Memakai Rambut Palsu:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الوَاصِلَةَ وَالمُسْتَوْصِلَةَ، وَالوَاشِمَةَ وَالمُسْتَوْشِمَةَ
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya, wanita yang membuat tato dan yang minta dibuat tato untuknya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiyallahu’anhum]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ
“Allah melaknat wanita yang mentato dan wanita yang minta ditato, yang mencukur alis dan yang minta dicukur alisnya, serta yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Beberapa Pelajaran:
1) Dua Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa haram hukumnya;
• Membuat tato,
• Mencukur alis,
• Merenggangkan atau mengikir gigi untuk kecantikan atau ketampanan.
• Memakai rambut palsu.
Semua itu haram dan termasuk dosa besar, karena terdapat laknat Allah ta’ala terhadap para pelaku dosa tersebut, baik laki-laki maupun wanita (lihat Subulus Salam, 2/212).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
دَلَالَةَ اللَّعْنِ عَلَى التَّحْرِيمِ مِنْ أَقْوَى الدَّلَالَاتِ بَلْ عِنْدَ بَعْضِهِمْ أَنَّهُ مِنْ عَلَامَاتِ الْكَبِيرَةِ
“Adanya laknat yang menunjukkan pengharaman adalah termasuk sekuat-kuatnya penunjukkan (pendalilan), bahkan menurut sebagian ulama bahwa adanya laknat termasuk tanda-tanda dosa besar.” [Fathul Bari, 10/377]
2) Makna an-nimash, yaitu larangan mencukur alis sebetulnya bersifat umum, mencakup seluruh rambut wajah (bukan hanya alis), akan tetapi diperkecualikan dari itu apabila seorang wanita tumbuh jenggot dan kumisnya maka hendaklah dihilangkan karena itu ciri khas laki-laki (lihat Fathul Bari, 10/378, Al-Mirqoh, 7/2819, Tuhfatul Ahwadzi, 8/56).
3) Wajib bertaubat kepada Allah ta'ala menghilangkan tato; membiarkannya atau menunda-nunda untuk menghilangkannya adalah maksiat, kecuali apabila menghilangkannya dapat menimbulkan luka atau hilangnya anggota tubuh atau hilang kemanfaatannya maka tidak wajib, cukup bertaubat kepada Allah ta’ala (lihat Al-Mirqoh, 7/28129 dan Tuhfatul Ahwadzi, 5/369).
4) Khusus wanita, boleh berhias atau merubah warna kulit dengan mengenakan daun pacar, sebagaimana pernah terjadi di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dan sepakat ulama atas kebolehannya, namun tentunya tidak boleh ditampakkan kepada selain mahramnya (lihat Subulus Salam, 2/212).
5) Mengikir atau merenggangkan gigi yang diharamkan adalah untuk memperindah atau mempercantik, adapun untuk mengobati atau menghilangkan cacat maka dibolehkan (lihat Al-Mirqoh, 7/2819).
• Sehingga dibolehkan insya Allah ta'ala untuk menggunakan kawat gigi atau behel dalam rangka pengobatan yang sakit atau perbaikan yang cacat, adapun untuk sekedar menambah kecantikan dan keindahan maka tidak boleh (lihat Majmu' Fatawa wa Rosaail Asy-Syaikh Ibnil 'Utsaimin rahimahullah, 17/22-23).
6) Pewarna bulu mata termasuk dalam cakupan larangan menyambung rambut dan dapat membahayakan mata (lihat Syarhu Riyadhis Shaalihin libnil 'Utsaimin rahimahullah, 6/206)
7) Diharamkan menyambung dengan rambut asli atau palsu (lihat Syarhu Riyadhis Shaalihin, 6/205)
8) Menyambung rambut termasuk kebiasaan orang kafir yang telah membinasakan mereka karena menerjang larangan Allah ta’ala, maka tidak boleh tasyabbuh kepada mereka. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ حِينَ اتَّخَذَهَا نِسَاؤُهُمْ
“Sesungguhnya yang membinasakan Bani Israil ketika para wanita mereka menyambung rambut.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhuma]
9) Bolehnya melaknat pelaku dosa secara muthlaq (umum), bukan mu’ayyan (person tertentu), kecuali apabila terdapat dalil yang melaknatnya secara mu’ayyan (lihat Syarhu Riyadhis Shaalihin, 6/203-204)
10) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat orang yang minta ditato tubuhnya dan yang membantunya, demikian pula orang yang minta disambung rambutnya dan yang membantunya, karena mereka saling menolong dalam dosa. Ibnu Baththol rahimahullah berkata,
وفيه دليل أن من أعان على معصية، فهو شريك فى الإثم
“Dan dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang yang menolong dalam kemaksiatan maka ia berserikat dalam dosa.” [Syarhu Shahihil Bukhari, 9/174]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الوَاصِلَةَ وَالمُسْتَوْصِلَةَ، وَالوَاشِمَةَ وَالمُسْتَوْشِمَةَ
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya, wanita yang membuat tato dan yang minta dibuat tato untuknya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiyallahu’anhum]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ
“Allah melaknat wanita yang mentato dan wanita yang minta ditato, yang mencukur alis dan yang minta dicukur alisnya, serta yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Beberapa Pelajaran:
1) Dua Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa haram hukumnya;
• Membuat tato,
• Mencukur alis,
• Merenggangkan atau mengikir gigi untuk kecantikan atau ketampanan.
• Memakai rambut palsu.
Semua itu haram dan termasuk dosa besar, karena terdapat laknat Allah ta’ala terhadap para pelaku dosa tersebut, baik laki-laki maupun wanita (lihat Subulus Salam, 2/212).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
دَلَالَةَ اللَّعْنِ عَلَى التَّحْرِيمِ مِنْ أَقْوَى الدَّلَالَاتِ بَلْ عِنْدَ بَعْضِهِمْ أَنَّهُ مِنْ عَلَامَاتِ الْكَبِيرَةِ
“Adanya laknat yang menunjukkan pengharaman adalah termasuk sekuat-kuatnya penunjukkan (pendalilan), bahkan menurut sebagian ulama bahwa adanya laknat termasuk tanda-tanda dosa besar.” [Fathul Bari, 10/377]
2) Makna an-nimash, yaitu larangan mencukur alis sebetulnya bersifat umum, mencakup seluruh rambut wajah (bukan hanya alis), akan tetapi diperkecualikan dari itu apabila seorang wanita tumbuh jenggot dan kumisnya maka hendaklah dihilangkan karena itu ciri khas laki-laki (lihat Fathul Bari, 10/378, Al-Mirqoh, 7/2819, Tuhfatul Ahwadzi, 8/56).
3) Wajib bertaubat kepada Allah ta'ala menghilangkan tato; membiarkannya atau menunda-nunda untuk menghilangkannya adalah maksiat, kecuali apabila menghilangkannya dapat menimbulkan luka atau hilangnya anggota tubuh atau hilang kemanfaatannya maka tidak wajib, cukup bertaubat kepada Allah ta’ala (lihat Al-Mirqoh, 7/28129 dan Tuhfatul Ahwadzi, 5/369).
4) Khusus wanita, boleh berhias atau merubah warna kulit dengan mengenakan daun pacar, sebagaimana pernah terjadi di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dan sepakat ulama atas kebolehannya, namun tentunya tidak boleh ditampakkan kepada selain mahramnya (lihat Subulus Salam, 2/212).
5) Mengikir atau merenggangkan gigi yang diharamkan adalah untuk memperindah atau mempercantik, adapun untuk mengobati atau menghilangkan cacat maka dibolehkan (lihat Al-Mirqoh, 7/2819).
• Sehingga dibolehkan insya Allah ta'ala untuk menggunakan kawat gigi atau behel dalam rangka pengobatan yang sakit atau perbaikan yang cacat, adapun untuk sekedar menambah kecantikan dan keindahan maka tidak boleh (lihat Majmu' Fatawa wa Rosaail Asy-Syaikh Ibnil 'Utsaimin rahimahullah, 17/22-23).
6) Pewarna bulu mata termasuk dalam cakupan larangan menyambung rambut dan dapat membahayakan mata (lihat Syarhu Riyadhis Shaalihin libnil 'Utsaimin rahimahullah, 6/206)
7) Diharamkan menyambung dengan rambut asli atau palsu (lihat Syarhu Riyadhis Shaalihin, 6/205)
8) Menyambung rambut termasuk kebiasaan orang kafir yang telah membinasakan mereka karena menerjang larangan Allah ta’ala, maka tidak boleh tasyabbuh kepada mereka. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ حِينَ اتَّخَذَهَا نِسَاؤُهُمْ
“Sesungguhnya yang membinasakan Bani Israil ketika para wanita mereka menyambung rambut.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhuma]
9) Bolehnya melaknat pelaku dosa secara muthlaq (umum), bukan mu’ayyan (person tertentu), kecuali apabila terdapat dalil yang melaknatnya secara mu’ayyan (lihat Syarhu Riyadhis Shaalihin, 6/203-204)
10) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melaknat orang yang minta ditato tubuhnya dan yang membantunya, demikian pula orang yang minta disambung rambutnya dan yang membantunya, karena mereka saling menolong dalam dosa. Ibnu Baththol rahimahullah berkata,
وفيه دليل أن من أعان على معصية، فهو شريك فى الإثم
“Dan dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang yang menolong dalam kemaksiatan maka ia berserikat dalam dosa.” [Syarhu Shahihil Bukhari, 9/174]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Salah Kaprah tentang Puasa Rajab (Koreksi untuk Pencela Ulama)
Salah Kaprah tentang Puasa Rajab (Koreksi untuk Pencela Ulama):
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Diantara kesalahan dalam permasalahan puasa Rajab adalah orang yang memahami bahwa ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang puasa di bulan Rajab atau membid’ahkannya secara mutlak, dan tidak jarang kesalahan memahami tersebut ditambah dengan kesalahan berikutnya yang lebih besar, yaitu menjelek-jelekan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan memberi gelar “Wahabi” dan gelar-gelar lainnya yang mereka anggap jelek.
Padahal yang menjelaskan tentang kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits khusus tentang puasa Rajab adalah para ulama yang hidup jauh sebelum Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahkan ulama besar dari kalangan Mazhab Syafi’i, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i rahimahullah memiliki buku khusus yang menjelaskan tentang kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits tersebut yang beliau beri judul “Tabyinul ‘Ajab bi Maa Waroda fi Fadhli Rojab”.
Dan kesalahan tersebut berasal dari kesalahan memahami ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan ucapan para ulama Ahlus Sunnah lainnya yang semisal tentang hadits-hadits puasa di bulan Rajab secara khusus. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah) berkata,
وأما صوم رجب بخصوصه فأحاديثه كلها ضعيفة بل موضوعة لا يعتمد أهل العلم على شيء منها وليست من الضعيف الذي يروى في الفضائل بل عامتها من الموضوعات المكذوبات
“Adapun puasa Rajab secara khusus, maka seluruh haditsnya lemah, bahkan palsu, tidak ada seorang ahli ilmu pun yang berpegang dengannya, dan bukan pula termasuk kategori lemah yang boleh diriwayatkan dalam fadhail (keutamaan beramal), bahkan seluruhnya termasuk hadits palsu lagi dusta.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/290-291]
Sebagian orang menyangka bahwa beliau melarang puasa Rajab secara mutlak dan membid’ahkannya, sebagai jawaban atas kesalahan ini:
Pertama: Beliau hanyalah menjelaskan bahwa hadits-hadits khusus yang berbicara tentang puasa Rajab dan keutamaannya adalah lemah dan palsu, sebagai peringatan untuk tidak menyebarkannya, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan dengan keras sekali,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, maka siapkan tempat duduknya di neraka." [Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barangsiapa menyampaikan hadits atas namaku padahal dia menyangka bahwa itu adalah dusta maka dia termasuk salah satu pendusta.” [HR. Muslim dari Al-Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu’anhu]
Dan bukan hanya beliau yang menjelaskan kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits tersebut, tetapi juga banyak ulama ahli hadits yang lainnya, diantaranya:
• Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
وكل حديث في ذكر صوم رجب وصلاة بعض الليالي فيه فهو كذب مفترى
“Dan semua hadits yang berbicara tentang puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya adalah dusta yang diada-adakan.” [Al-Manaarul Muniif: 170]
• Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لم يرد في فضل شهر رجب ولا في صيامه ولا صيام شيء منه معين ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة
“Tidak ada satu hadits shahih pun yang berbicara tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula puasanya, tidak pula puasa khusus di hari tertentu dan tidak pula sholat malam di malam yang khusus.” [Tabyinul ‘Ajab, hal. 11]
• Al-Hafizh Abu Ismail Al-Harawi, sebagaimana yang dikatakan Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah,
وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ، رويناه عنه بإسناد صحيح، وكذلك رويناه عن غيره
“Dan sungguh telah mendahului aku dalam memastikan kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits tersebut, Al-Imam Abu Ismail Al-Harawi Al-Hafiz, kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih, demikian pula kami telah meriwayatkan dari selain beliau.” [Tabyinul ‘Ajab, hal. 11]
Kedua: Beliau termasuk ulama yang berfatwa menganjurkan puasa Rajab berdasarkan hadits umum tentang puasa dan memperbanyak amal shalih di bulan-bulan haram, bukan hadits khusus yang menjelaskan tentang puasa Rajab dan keutamaannya. Namun beliau memilih pendapat untuk tidak berpuasa sebulan penuh, mesti berbuka minimal satu hari agar berbeda dengan puasa Ramadhan, karena terdapat riwayat yang shahih dari Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhuma yang melarang keras puasa Rajab sebulan penuh. Beliau berkata,
لَكِنْ صَحَّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَضْرِبُ أَيْدِي النَّاسِ؛ لِيَضَعُوا أَيْدِيَهُمْ فِي الطَّعَامِ فِي رَجَبٍ. وَيَقُولُ: لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ.
وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَرَأَى أَهْلَهُ قَدْ اشْتَرَوْا كِيزَانًا لِلْمَاءِ، وَاسْتَعَدُّوا لِلصَّوْمِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ ، فَقَالُوا: رَجَبٌ، فَقَالَ: أَتُرِيدُونَ أَنْ تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ؟ وَكَسَرَ تِلْكَ الْكِيزَانَ". فَمَتَى أَفْطَرَ بَعْضًا لَمْ يُكْرَهْ صَوْمُ الْبَعْضِ.
وَفِي الْمُسْنَد وَغَيْرِهِ: حَدِيثٌ «عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ أَمَرَ بِصَوْمِ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ، وَهِيَ: رَجَبٌ، وَذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ». فَهَذَا فِي صَوْمِ الْأَرْبَعَةِ جَمِيعًا، لَا مَنْ يُخَصِّصُ رَجَبًا.
“Akan tetapi telah shahih bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu pernah memukul tangan-tangan manusia agar mereka mau meletakkan tangan-tangan mereka pada makanan di siang hari bulan Rajab, seraya berkata: “Jangan samakan Rajab dengan Ramadhan.”
Abu Bakr radhiyallahu’anhu pernah memasuki rumahnya, lalu beliau melihat keluarganya telah membeli bejana air dan bersiap untuk puasa, maka beliau berkata: Apa maksudnya ini? Mereka menjawab: Untuk persiapan puasa Rajab. Beliau berkata: Apakah kalian ingin menyamakannya dengan Ramadhan?! Lalu beliau memecahkan bejana tersebut.
Kesimpulanya, kapan seseorang berbuka di sebagian hari bulan Rajab, maka tidak makruh untuk berpuasa di sebagian harinya yang lain. Dan telah shahih dalam Al-Musnad dan selainnya, sebuah hadits dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan untuk berpuasa di bulan-bulan haram, yaitu Rajab, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Muharram. Namun hadits tersebut tentang puasa empat bulan haram seluruhnya, bukan mengkhususkan Rajab.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/291]
Ketiga: Beliau hanyalah menyalahkan puasa yang dibangun di atas keyakinan tanpa dalil, bahkan beliau menukil pendapat yang membolehkan berpuasa Rajab sebulan penuh dengan syarat tidak mengkhususkannya tanpa bulan yang lainnya dan tidak meyakininya lebih afdhal daripada bulan lainnya, karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkan demikian. Betapa pentingnya masalah ini untuk dipahami sehingga Abu Bakr dan Umar radhiyallahu’anhuma memberi hukuman dengan keras bagi orang yang menyelisihinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وعلى إلزامه الإفطار في رجب وكسر أبو بكر رضي الله عنه كيزان أهله في رجب وقال لا تشبهوه برمضان. فهذه العقوبة البدنية والمالية لمن كان يعتقد أن صوم رجب مشروع مستحب وأنه أفضل من صوم غيره من الأشهر، وهذا الاعتقاد خطأ وضلال ومن صامه على هذا الاعتقاد الفاسد كان عاصيا فيعزر على ذلك، ولهذا كرهه من كرهه خشية أن يتعوده الناس، وقال: يستحب أن يفطر بعضه، ومنهم من رخص فيه إذا صام معه شهرا آخر من السنة كالمحرم.
“(Umar memberi hukuman pukul) demi mengharuskan mereka berbuka di bulan Rajab, Abu Bakr radhiyallahu’anhu memecahkan bejana keluarganya seraya berkata: “Janganlah kalian menyamakan Rajab dengan Ramadhan”, maka ini adalah hukuman badan dan harta bagi orang yang meyakini puasa Rajab disyari’atkan lagi disunnahkan (secara khusus sebulan penuh) dan bahwa itu lebih afdhal dari puasa di bulan lain (padahal tidak ada dalil shahih yang menunjukkannya), maka keyakinan ini salah dan sesat, barangsiapa berpuasa berdasarkan keyakinan yang rusak ini maka hakikatnya ia sedang bermaksiat, sehingga patut untuk diberikan hukuman oleh penguasa. Oleh karena itu sebagian ulama membenci (puasa Rajab sebulan penuh) karena khawatir akan menjadi kebiasaan manusia dan mereka (para ulama tersebut) berpendapat: Disunnahkan untuk berbuka di sebagian hari (dan berpuasa di sebagian hari), dan sebagian ulama memberi keringanan untuk berpuasa (sebulan penuh) dengan syarat ia berpuasa di bulan lain pada tahun tersebut, seperti bulan Muharram.” [Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Al-Fatawa, 3/106]
Keempat: Beliau rahimahullah juga menukil pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad yang memakruhkan puasa Rajab saja tanpa puasa yang lainnya, dan beliau membolehkan puasa di kebanyakan hari bulan Rajab tanpa bersandar pada hadits-hadits palsu dan tidak mengkhususkannya tanpa melakukan puasa di bulan haram lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وإفراد رَجَب بِالصَّوْمِ مَكْرُوه نَص على ذَلِك الْأَئِمَّة كالشافعي وَأحمد وَغَيرهمَا وَسَائِر الْأَحَادِيث الَّتِي رويت فِي فضل الصَّوْم فِيهِ مَوْضُوعَة لَكِن لَو صَامَ أَكْثَره فَلَا بَأْس
“Berpuasa di bulan Rajab saja hukumnya makruh, sebagaimana telah ditegaskan para imam seperti Asy-Syafi’i, Ahmad dan selainnya. Dan seluruh hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan puasa Rajab adalah palsu, akan tetapi jika seseorang berpuasa pada kebanyakan hari di bulan Rajab maka tidak apa-apa.” [Mukhtashor Al-Fatawa Al-Mishriyyah, hal. 288]
Kelima: Ulama Salafi, pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang hakiki di masa ini pun tidak mengharamkan dan membid’ahkan puasa Rajab secara mutlak, melainkan hanya memakruhkan apabila dilakukan sebulan penuh tanpa puasa yang lainnya karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkannya, sebagaimana pendapat sebagian ulama mazhab yang empat terdahulu. Disebutkan dalam fatwa Komite Tetap untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah,
وأما صوم رجب مفردا فمكروه، وإذا صام بعضه وأفطر بعضه زالت الكراهة.
“Adapun puasa Rajab saja maka makruh, dan apabila seseorang berpuasa di sebagian harinya dan berbuka di sebagian hari yang lain maka hilang kemakruhannya.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/385]
Ust. Sofyan Chaid bin Idham Ruray.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Diantara kesalahan dalam permasalahan puasa Rajab adalah orang yang memahami bahwa ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang puasa di bulan Rajab atau membid’ahkannya secara mutlak, dan tidak jarang kesalahan memahami tersebut ditambah dengan kesalahan berikutnya yang lebih besar, yaitu menjelek-jelekan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan memberi gelar “Wahabi” dan gelar-gelar lainnya yang mereka anggap jelek.
Padahal yang menjelaskan tentang kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits khusus tentang puasa Rajab adalah para ulama yang hidup jauh sebelum Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahkan ulama besar dari kalangan Mazhab Syafi’i, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i rahimahullah memiliki buku khusus yang menjelaskan tentang kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits tersebut yang beliau beri judul “Tabyinul ‘Ajab bi Maa Waroda fi Fadhli Rojab”.
Dan kesalahan tersebut berasal dari kesalahan memahami ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan ucapan para ulama Ahlus Sunnah lainnya yang semisal tentang hadits-hadits puasa di bulan Rajab secara khusus. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah) berkata,
وأما صوم رجب بخصوصه فأحاديثه كلها ضعيفة بل موضوعة لا يعتمد أهل العلم على شيء منها وليست من الضعيف الذي يروى في الفضائل بل عامتها من الموضوعات المكذوبات
“Adapun puasa Rajab secara khusus, maka seluruh haditsnya lemah, bahkan palsu, tidak ada seorang ahli ilmu pun yang berpegang dengannya, dan bukan pula termasuk kategori lemah yang boleh diriwayatkan dalam fadhail (keutamaan beramal), bahkan seluruhnya termasuk hadits palsu lagi dusta.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/290-291]
Sebagian orang menyangka bahwa beliau melarang puasa Rajab secara mutlak dan membid’ahkannya, sebagai jawaban atas kesalahan ini:
Pertama: Beliau hanyalah menjelaskan bahwa hadits-hadits khusus yang berbicara tentang puasa Rajab dan keutamaannya adalah lemah dan palsu, sebagai peringatan untuk tidak menyebarkannya, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan dengan keras sekali,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja, maka siapkan tempat duduknya di neraka." [Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barangsiapa menyampaikan hadits atas namaku padahal dia menyangka bahwa itu adalah dusta maka dia termasuk salah satu pendusta.” [HR. Muslim dari Al-Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu’anhu]
Dan bukan hanya beliau yang menjelaskan kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits tersebut, tetapi juga banyak ulama ahli hadits yang lainnya, diantaranya:
• Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
وكل حديث في ذكر صوم رجب وصلاة بعض الليالي فيه فهو كذب مفترى
“Dan semua hadits yang berbicara tentang puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya adalah dusta yang diada-adakan.” [Al-Manaarul Muniif: 170]
• Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لم يرد في فضل شهر رجب ولا في صيامه ولا صيام شيء منه معين ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة
“Tidak ada satu hadits shahih pun yang berbicara tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula puasanya, tidak pula puasa khusus di hari tertentu dan tidak pula sholat malam di malam yang khusus.” [Tabyinul ‘Ajab, hal. 11]
• Al-Hafizh Abu Ismail Al-Harawi, sebagaimana yang dikatakan Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah,
وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ، رويناه عنه بإسناد صحيح، وكذلك رويناه عن غيره
“Dan sungguh telah mendahului aku dalam memastikan kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits tersebut, Al-Imam Abu Ismail Al-Harawi Al-Hafiz, kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih, demikian pula kami telah meriwayatkan dari selain beliau.” [Tabyinul ‘Ajab, hal. 11]
Kedua: Beliau termasuk ulama yang berfatwa menganjurkan puasa Rajab berdasarkan hadits umum tentang puasa dan memperbanyak amal shalih di bulan-bulan haram, bukan hadits khusus yang menjelaskan tentang puasa Rajab dan keutamaannya. Namun beliau memilih pendapat untuk tidak berpuasa sebulan penuh, mesti berbuka minimal satu hari agar berbeda dengan puasa Ramadhan, karena terdapat riwayat yang shahih dari Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiyallahu’anhuma yang melarang keras puasa Rajab sebulan penuh. Beliau berkata,
لَكِنْ صَحَّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَضْرِبُ أَيْدِي النَّاسِ؛ لِيَضَعُوا أَيْدِيَهُمْ فِي الطَّعَامِ فِي رَجَبٍ. وَيَقُولُ: لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ.
وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَرَأَى أَهْلَهُ قَدْ اشْتَرَوْا كِيزَانًا لِلْمَاءِ، وَاسْتَعَدُّوا لِلصَّوْمِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ ، فَقَالُوا: رَجَبٌ، فَقَالَ: أَتُرِيدُونَ أَنْ تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ؟ وَكَسَرَ تِلْكَ الْكِيزَانَ". فَمَتَى أَفْطَرَ بَعْضًا لَمْ يُكْرَهْ صَوْمُ الْبَعْضِ.
وَفِي الْمُسْنَد وَغَيْرِهِ: حَدِيثٌ «عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ أَمَرَ بِصَوْمِ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ، وَهِيَ: رَجَبٌ، وَذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ». فَهَذَا فِي صَوْمِ الْأَرْبَعَةِ جَمِيعًا، لَا مَنْ يُخَصِّصُ رَجَبًا.
“Akan tetapi telah shahih bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu pernah memukul tangan-tangan manusia agar mereka mau meletakkan tangan-tangan mereka pada makanan di siang hari bulan Rajab, seraya berkata: “Jangan samakan Rajab dengan Ramadhan.”
Abu Bakr radhiyallahu’anhu pernah memasuki rumahnya, lalu beliau melihat keluarganya telah membeli bejana air dan bersiap untuk puasa, maka beliau berkata: Apa maksudnya ini? Mereka menjawab: Untuk persiapan puasa Rajab. Beliau berkata: Apakah kalian ingin menyamakannya dengan Ramadhan?! Lalu beliau memecahkan bejana tersebut.
Kesimpulanya, kapan seseorang berbuka di sebagian hari bulan Rajab, maka tidak makruh untuk berpuasa di sebagian harinya yang lain. Dan telah shahih dalam Al-Musnad dan selainnya, sebuah hadits dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan untuk berpuasa di bulan-bulan haram, yaitu Rajab, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Muharram. Namun hadits tersebut tentang puasa empat bulan haram seluruhnya, bukan mengkhususkan Rajab.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/291]
Ketiga: Beliau hanyalah menyalahkan puasa yang dibangun di atas keyakinan tanpa dalil, bahkan beliau menukil pendapat yang membolehkan berpuasa Rajab sebulan penuh dengan syarat tidak mengkhususkannya tanpa bulan yang lainnya dan tidak meyakininya lebih afdhal daripada bulan lainnya, karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkan demikian. Betapa pentingnya masalah ini untuk dipahami sehingga Abu Bakr dan Umar radhiyallahu’anhuma memberi hukuman dengan keras bagi orang yang menyelisihinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وعلى إلزامه الإفطار في رجب وكسر أبو بكر رضي الله عنه كيزان أهله في رجب وقال لا تشبهوه برمضان. فهذه العقوبة البدنية والمالية لمن كان يعتقد أن صوم رجب مشروع مستحب وأنه أفضل من صوم غيره من الأشهر، وهذا الاعتقاد خطأ وضلال ومن صامه على هذا الاعتقاد الفاسد كان عاصيا فيعزر على ذلك، ولهذا كرهه من كرهه خشية أن يتعوده الناس، وقال: يستحب أن يفطر بعضه، ومنهم من رخص فيه إذا صام معه شهرا آخر من السنة كالمحرم.
“(Umar memberi hukuman pukul) demi mengharuskan mereka berbuka di bulan Rajab, Abu Bakr radhiyallahu’anhu memecahkan bejana keluarganya seraya berkata: “Janganlah kalian menyamakan Rajab dengan Ramadhan”, maka ini adalah hukuman badan dan harta bagi orang yang meyakini puasa Rajab disyari’atkan lagi disunnahkan (secara khusus sebulan penuh) dan bahwa itu lebih afdhal dari puasa di bulan lain (padahal tidak ada dalil shahih yang menunjukkannya), maka keyakinan ini salah dan sesat, barangsiapa berpuasa berdasarkan keyakinan yang rusak ini maka hakikatnya ia sedang bermaksiat, sehingga patut untuk diberikan hukuman oleh penguasa. Oleh karena itu sebagian ulama membenci (puasa Rajab sebulan penuh) karena khawatir akan menjadi kebiasaan manusia dan mereka (para ulama tersebut) berpendapat: Disunnahkan untuk berbuka di sebagian hari (dan berpuasa di sebagian hari), dan sebagian ulama memberi keringanan untuk berpuasa (sebulan penuh) dengan syarat ia berpuasa di bulan lain pada tahun tersebut, seperti bulan Muharram.” [Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Al-Fatawa, 3/106]
Keempat: Beliau rahimahullah juga menukil pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad yang memakruhkan puasa Rajab saja tanpa puasa yang lainnya, dan beliau membolehkan puasa di kebanyakan hari bulan Rajab tanpa bersandar pada hadits-hadits palsu dan tidak mengkhususkannya tanpa melakukan puasa di bulan haram lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وإفراد رَجَب بِالصَّوْمِ مَكْرُوه نَص على ذَلِك الْأَئِمَّة كالشافعي وَأحمد وَغَيرهمَا وَسَائِر الْأَحَادِيث الَّتِي رويت فِي فضل الصَّوْم فِيهِ مَوْضُوعَة لَكِن لَو صَامَ أَكْثَره فَلَا بَأْس
“Berpuasa di bulan Rajab saja hukumnya makruh, sebagaimana telah ditegaskan para imam seperti Asy-Syafi’i, Ahmad dan selainnya. Dan seluruh hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan puasa Rajab adalah palsu, akan tetapi jika seseorang berpuasa pada kebanyakan hari di bulan Rajab maka tidak apa-apa.” [Mukhtashor Al-Fatawa Al-Mishriyyah, hal. 288]
Kelima: Ulama Salafi, pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang hakiki di masa ini pun tidak mengharamkan dan membid’ahkan puasa Rajab secara mutlak, melainkan hanya memakruhkan apabila dilakukan sebulan penuh tanpa puasa yang lainnya karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkannya, sebagaimana pendapat sebagian ulama mazhab yang empat terdahulu. Disebutkan dalam fatwa Komite Tetap untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah,
وأما صوم رجب مفردا فمكروه، وإذا صام بعضه وأفطر بعضه زالت الكراهة.
“Adapun puasa Rajab saja maka makruh, dan apabila seseorang berpuasa di sebagian harinya dan berbuka di sebagian hari yang lain maka hilang kemakruhannya.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/385]
Ust. Sofyan Chaid bin Idham Ruray.
MERDUNYA SUARAMU BUKAN UNTUK SEMUA LELAKI
Saudariku, Merdunya Suaramu Bukan untuk Semua Lelaki:
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah subhaanahu wa ta'ala berfirman,
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
"Maka janganlah kamu (para wanita) melembutkan suara dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." [Al-Ahzab: 32]
Penjelasan Makna Ayat:
• Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
ومعنى هذا: أنها تخاطب الأجانب بكلام ليس فيه ترخيم، أي: لا تخاطب المرأة الأجانب كما تخاطب زوجها
"Makna ayat ini: Bahwa seorang wanita tidak boleh berbicara dengan laki-laki asing (non mahram atau bukan suaminya) dengan ucapan yang lembut. Maksudnya: Janganlah seorang wanita berbicara dengan laki-laki asing seperti berbicara dengan suaminya." [Tafsir Ibnu Katsir, 6/409]
• Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
{فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ} وَهُوَ مَرَضُ الشَّهْوَةِ فَإِنَّ الْقَلْبَ الصَّحِيحَ لَوْ تَعَرَّضَتْ لَهُ الْمَرْأَةُ لَمْ يَلْتَفِتْ إلَيْهَا بِخِلَافِ الْقَلْبِ الْمَرِيضِ بِالشَّهْوَةِ فَإِنَّهُ لِضَعْفِهِ يَمِيلُ إلَى مَا يَعْرِضُ لَهُ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ قُوَّةِ الْمَرَضِ وَضَعْفِهِ فَإِذَا خَضَعْنَ بِالْقَوْلِ طَمِعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ.
“Orang yang ada penyakit dalam hatinya, artinya adalah penyakit syahwat, karena sesungguhnya hati yang sehat, andaikan ia berpapasan dengan seorang wanita maka ia tidak akan menoleh kepadanya, berbeda dengan hati yang berpenyakit syahwat, sungguh karena kelemahannya ia selalu cenderung kepada syahwat, kecenderungannya sesuai dengan kuat dan lemahnya penyakit syahwat tersebut, maka apabila kaum wanita melembutkan suara dalam berbicara, berkeinginanlah orang yang ada penyakit syahwat dalam hatinya.” [Majmu’ Al-Fatawa, 10/95]
• As-Sa'di rahimahullah berkata,
الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ أي: مرض شهوة الزنا، فإنه مستعد، ينظر أدنى محرك يحركه، لأن قلبه غير صحيح
"Orang yang ada penyakit dalam hatinya, maknanya: Penyakit syahwat zina, maka ia dengan sangat mudah akan tergoda walau dengan sedikit rayuan, karena hatinya tidak sehat." [Taisirul Karimir Rahman, hal. 663]
• Beliau rahimahullah juga berkata,
فهذا دليل على أن الوسائل، لها أحكام المقاصد. فإن الخضوع بالقول، واللين فيه، في الأصل مباح، ولكن لما كان وسيلة إلى المحرم، منع منه، ولهذا ينبغي للمرأة في مخاطبة الرجال، أن لا تلِينَ لهم القول. ولما نهاهن عن الخضوع في القول، فربما توهم أنهن مأمورات بإغلاظ القول، دفع هذا بقوله: {وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا} أي: غير غليظ، ولا جاف كما أنه ليس بِلَيِّنٍ خاضع
"Maka ayat ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa hukum sarana sesuai tujuan, karena melembutkan dan memerdukan suara pada dasarnya mubah, akan tetapi ketika ia dapat menjadi sarana kepada yang haram maka dilarang, hingga sepatutnya bagi wanita dalam berbicara dengan laki-laki asing untuk tidak melembutkan suara.
Dan tatkala Allah melarang para wanita melembutkan suara, maka bisa terjadi salah sangka bahwa mereka diperintahkan untuk mengeraskan suara, sehingga sangkaan tersebut ditolak dengan firman-Nya:
وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
"Dan ucapkanlah perkataan yang baik." Maksudnya: Tidak keras dan tidak kasar, sebagaimana juga tidak boleh lemah lembut (kepada selain suami)." [Taisirul Karimir Rahman, hal. 663]
Beberapa Pelajaran:
1) Wanita dalam Islam sangat mulia sehingga perlu dijaga dan diperhatikan dengan baik, bahkan penjagaan Islam terhadap wanita ditetapkan dari seluruh sisi, apakah hatinya, penampilannya, pandangan matanya, tingkah lakunya, termasuk cara berbicaranya.
2) Wanita memang menarik lagi menggoda, maka setan pun sering kali memanfaatkan kaum wanita untuk menjerumuskan kaum lelaki dalam dosa, inilah pentingnya menjaga kaum wanita agar tidak dijadikan anak panah setan.
3) Tidak patut wanita dijadikan 'alat' penarik kaum lelaki selain suaminya, walau hanya dengan suaranya, apatah lagi lebih dari itu seperti tubuhnya dan penampilannya. Maka tidak pantas menjadikan wanita sebagai:
• SPG yang melayani umum baik pria dan wanita,
• Penyanyi, dan ini adalah profesi yang haram,
• Artis dan model, ini juga profesi yang haram karena mengandung berbagai keharaman.
• Dan berbagai profesi lainnya yang mengeksploitasi kaum wanita sebagai penarik kaum lelaki selain suaminya.
4) Islam telah menetapkan batasan-batasan dan adab-adab yang baik dalam pergaulan, termasuk pergaulan antara lawan jenis, maka hendaklah dipelajari, diamalkan dan diajarkan.
5) Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan dengan sebaik-baik aturan, membimbing kepada kemaslahatan dan menjauhi kemudaratan, mengajak kepada akhlak yang mulia dan melarang akhlak yang tercela.
6) Berpalingnya manusia dari bimbingan syari'at akan memunculkan berbagai macam malapetaka dan kerusakan, baik dunia dan agama.
7) Hati terbagi tiga; hati yang sehat, yang sakit dan yang mati.
8) Bahaya penyakit hati dan pentingnya menjaga dan mengobatinya, serta bahaya memperturutkan nafsu syahwat.
9) Seorang suami atau istri wajib memahami adab-adab pergaulan dan batasan-batasan antara suami istri dan lawan jenis yang bukan suami atau istrinya.
10) Kaidah syari'at: (الوسائل لها أحكام المقاصد) Sarana memiliki hukum sesuai tujuan.
11) Sesuatu yang mubah dapat menjadi haram apabila mengantarkan kepada yang haram, dan dapat menjadi wajib apabila suatu kewajiban tidak dapat tegak kecuali dengannya.
12) Perintah berkata-kata yang baik.
13) Syari'at Islam apabila melarang sesuatu pasti memberikan solusi yang lebih baik, ketika syari'at Islam melarang berbicara dengan cara yang tidak baik, selanjutnya diperintahkan berkata-kata yang baik.
14) Keindahan dan keistimewaan syari'at menunjukkan Allah Maha Berilmu dan Maha Hikmah.
15) Manusia adalah makhluk yang lemah, mudah terjerumus dalam dosa oleh nafsu syahwat dan godaan setan, jalan selamatnya adalah berpegang teguh dengan syari'at Allah ta'ala dan senantiasa memohon pertolongan-Nya.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah subhaanahu wa ta'ala berfirman,
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
"Maka janganlah kamu (para wanita) melembutkan suara dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." [Al-Ahzab: 32]
Penjelasan Makna Ayat:
• Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
ومعنى هذا: أنها تخاطب الأجانب بكلام ليس فيه ترخيم، أي: لا تخاطب المرأة الأجانب كما تخاطب زوجها
"Makna ayat ini: Bahwa seorang wanita tidak boleh berbicara dengan laki-laki asing (non mahram atau bukan suaminya) dengan ucapan yang lembut. Maksudnya: Janganlah seorang wanita berbicara dengan laki-laki asing seperti berbicara dengan suaminya." [Tafsir Ibnu Katsir, 6/409]
• Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
{فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ} وَهُوَ مَرَضُ الشَّهْوَةِ فَإِنَّ الْقَلْبَ الصَّحِيحَ لَوْ تَعَرَّضَتْ لَهُ الْمَرْأَةُ لَمْ يَلْتَفِتْ إلَيْهَا بِخِلَافِ الْقَلْبِ الْمَرِيضِ بِالشَّهْوَةِ فَإِنَّهُ لِضَعْفِهِ يَمِيلُ إلَى مَا يَعْرِضُ لَهُ مِنْ ذَلِكَ بِحَسَبِ قُوَّةِ الْمَرَضِ وَضَعْفِهِ فَإِذَا خَضَعْنَ بِالْقَوْلِ طَمِعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ.
“Orang yang ada penyakit dalam hatinya, artinya adalah penyakit syahwat, karena sesungguhnya hati yang sehat, andaikan ia berpapasan dengan seorang wanita maka ia tidak akan menoleh kepadanya, berbeda dengan hati yang berpenyakit syahwat, sungguh karena kelemahannya ia selalu cenderung kepada syahwat, kecenderungannya sesuai dengan kuat dan lemahnya penyakit syahwat tersebut, maka apabila kaum wanita melembutkan suara dalam berbicara, berkeinginanlah orang yang ada penyakit syahwat dalam hatinya.” [Majmu’ Al-Fatawa, 10/95]
• As-Sa'di rahimahullah berkata,
الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ أي: مرض شهوة الزنا، فإنه مستعد، ينظر أدنى محرك يحركه، لأن قلبه غير صحيح
"Orang yang ada penyakit dalam hatinya, maknanya: Penyakit syahwat zina, maka ia dengan sangat mudah akan tergoda walau dengan sedikit rayuan, karena hatinya tidak sehat." [Taisirul Karimir Rahman, hal. 663]
• Beliau rahimahullah juga berkata,
فهذا دليل على أن الوسائل، لها أحكام المقاصد. فإن الخضوع بالقول، واللين فيه، في الأصل مباح، ولكن لما كان وسيلة إلى المحرم، منع منه، ولهذا ينبغي للمرأة في مخاطبة الرجال، أن لا تلِينَ لهم القول. ولما نهاهن عن الخضوع في القول، فربما توهم أنهن مأمورات بإغلاظ القول، دفع هذا بقوله: {وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا} أي: غير غليظ، ولا جاف كما أنه ليس بِلَيِّنٍ خاضع
"Maka ayat ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa hukum sarana sesuai tujuan, karena melembutkan dan memerdukan suara pada dasarnya mubah, akan tetapi ketika ia dapat menjadi sarana kepada yang haram maka dilarang, hingga sepatutnya bagi wanita dalam berbicara dengan laki-laki asing untuk tidak melembutkan suara.
Dan tatkala Allah melarang para wanita melembutkan suara, maka bisa terjadi salah sangka bahwa mereka diperintahkan untuk mengeraskan suara, sehingga sangkaan tersebut ditolak dengan firman-Nya:
وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
"Dan ucapkanlah perkataan yang baik." Maksudnya: Tidak keras dan tidak kasar, sebagaimana juga tidak boleh lemah lembut (kepada selain suami)." [Taisirul Karimir Rahman, hal. 663]
Beberapa Pelajaran:
1) Wanita dalam Islam sangat mulia sehingga perlu dijaga dan diperhatikan dengan baik, bahkan penjagaan Islam terhadap wanita ditetapkan dari seluruh sisi, apakah hatinya, penampilannya, pandangan matanya, tingkah lakunya, termasuk cara berbicaranya.
2) Wanita memang menarik lagi menggoda, maka setan pun sering kali memanfaatkan kaum wanita untuk menjerumuskan kaum lelaki dalam dosa, inilah pentingnya menjaga kaum wanita agar tidak dijadikan anak panah setan.
3) Tidak patut wanita dijadikan 'alat' penarik kaum lelaki selain suaminya, walau hanya dengan suaranya, apatah lagi lebih dari itu seperti tubuhnya dan penampilannya. Maka tidak pantas menjadikan wanita sebagai:
• SPG yang melayani umum baik pria dan wanita,
• Penyanyi, dan ini adalah profesi yang haram,
• Artis dan model, ini juga profesi yang haram karena mengandung berbagai keharaman.
• Dan berbagai profesi lainnya yang mengeksploitasi kaum wanita sebagai penarik kaum lelaki selain suaminya.
4) Islam telah menetapkan batasan-batasan dan adab-adab yang baik dalam pergaulan, termasuk pergaulan antara lawan jenis, maka hendaklah dipelajari, diamalkan dan diajarkan.
5) Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan dengan sebaik-baik aturan, membimbing kepada kemaslahatan dan menjauhi kemudaratan, mengajak kepada akhlak yang mulia dan melarang akhlak yang tercela.
6) Berpalingnya manusia dari bimbingan syari'at akan memunculkan berbagai macam malapetaka dan kerusakan, baik dunia dan agama.
7) Hati terbagi tiga; hati yang sehat, yang sakit dan yang mati.
8) Bahaya penyakit hati dan pentingnya menjaga dan mengobatinya, serta bahaya memperturutkan nafsu syahwat.
9) Seorang suami atau istri wajib memahami adab-adab pergaulan dan batasan-batasan antara suami istri dan lawan jenis yang bukan suami atau istrinya.
10) Kaidah syari'at: (الوسائل لها أحكام المقاصد) Sarana memiliki hukum sesuai tujuan.
11) Sesuatu yang mubah dapat menjadi haram apabila mengantarkan kepada yang haram, dan dapat menjadi wajib apabila suatu kewajiban tidak dapat tegak kecuali dengannya.
12) Perintah berkata-kata yang baik.
13) Syari'at Islam apabila melarang sesuatu pasti memberikan solusi yang lebih baik, ketika syari'at Islam melarang berbicara dengan cara yang tidak baik, selanjutnya diperintahkan berkata-kata yang baik.
14) Keindahan dan keistimewaan syari'at menunjukkan Allah Maha Berilmu dan Maha Hikmah.
15) Manusia adalah makhluk yang lemah, mudah terjerumus dalam dosa oleh nafsu syahwat dan godaan setan, jalan selamatnya adalah berpegang teguh dengan syari'at Allah ta'ala dan senantiasa memohon pertolongan-Nya.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Masa Ihdad Wanita dan Ketentuannya
Masa Ihdad Seorang Wanita dan Beberapa Ketentuannya:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُحِدُّ امْرَأَةٌ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ، أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Seorang wanita tidak boleh ber-ihdad terhadap mayyit selama lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suaminya selama empat bulan sepuluh hari.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu’anha]
Beberapa Pelajaran:
1) Ihdad (الإحداد) artinya secara bahasa adalah al-man’u (المنع), mencegah. Adapun secara istilah artinya adalah,
أن تجتنب المرأة المعتدة المتوفى عنها زوجها كل ما يدعو إلى نكاحها ورغبة الآخرين فيها من طيب وكحل ولبس ومطيّب وخروج من منزل من غير حاجة.
“Seorang wanita yang berada dalam masa ‘iddah karena ditinggal mati suaminya hendaklah menjauhi semua yang dapat menarik laki-laki untuk menikahinya dan suka kepadanya, seperti minyak wangi, celak, pakaian (yang indah), perhiasan dan keluar rumah tanpa hajat.” [Al-Imdad bi Ahkaamil Haddaad, Asy-Syaikh DR. Fayhan Syaali Al-Mathiri, hal. 148 cet. Univ. Islam Madinah 1404 H]
2) Tidak boleh melakukan ihdad lebih dari tiga hari, kecuali seorang wanita yang ditinggal mati suaminya maka masa ihdadnya adalah 4 bulan 10 hari, dan sampai melahirkan apabila sedang hamil (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/437 no. 7484).
3) Kewajiban seorang wanita di masa ihdad ada lima:
•Pertama: Tinggal di rumah suaminya, tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali karena suatu hajat darurat seperti untuk pengobatan karena sakit atau membeli makanan apabila tidak ada orang lain yang membelikannya (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/440 no. 2724).
•Kedua: Tidak mengenakan wewangian, baik di pakaian maupun di badan.
•Ketiga: Tidak mengenakan perhiasan dengan segala bentuknya.
•Keempat: Tidak mengenakan pakaian yang indah.
•Kelima: Tidak mengenakan celak mata.
(Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/449 no. 19756)
4) Masa 'iddah wanita (masa tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain setelah terpisah dengan suaminya) yang ditinggal mati suaminya sama dengan masa ihdad-nya, yaitu selama 4 bulan 10 hari, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-'iddah) empat bulan sepuluh hari.” [Al-Baqoroh: 234]
Kecuali wanita hamil maka masa ‘iddah-nya sampai melahirkan, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu 'iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [Ath-Tholaaq: 4]
5) Apabila seorang wanita tidak melakukan ihdad selama masa ‘iddah kematian suami maka ia berdosa, dan apabila ia menikah di masa ‘iddah tersebut maka nikahnya batil. Adapun jika ia tidak melakukan ihdad dan menikah setelah berakhir masa ‘iddah maka ia berdosa namun nikahnya sah (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/486 no. 20504)
6) Tidak boleh keluar rumah untuk sekedar jalan-jalan atau berkunjung (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/467 no. 14114), dan boleh mengunjungi keluarganya, seperti ibunya jika dalam keadaan perlu untuk dikunjungi (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/476 no. 18875)
7) Tidak boleh keluar rumah untuk sholat di masjid, bahkan wanita lebih afdhal sholat di rumah di masa ihdad maupun tidak (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/467 no. 14259)
8) Boleh menjalani ihdad di selain rumah suaminya apabila ada suatu bahaya atau fitnah di rumah suaminya (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/471 no. 17703)
9) Wanita yang tidak menjalani ihdad maka ia berdosa, hendaklah ia memohon ampun dan bertaubat kepada Allah ta'ala serta memperbanyak dzikir, dan tidak perlu diqodho serta tidak ada kaffaroh (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/481 no. 5932)
10) Wanita yang baru mengetahui kematian suaminya setelah selesai masa ‘iddah dan ihdad-nya maka tidak ada lagi masa ‘iddah dan ihdad-nya, namun jika masih tersisa masanya hendaklah ia menjalani waktu yang tersisa saja (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/416 no. 14463 dan 20/417 no. 14506)
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُحِدُّ امْرَأَةٌ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ، أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Seorang wanita tidak boleh ber-ihdad terhadap mayyit selama lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suaminya selama empat bulan sepuluh hari.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu’anha]
Beberapa Pelajaran:
1) Ihdad (الإحداد) artinya secara bahasa adalah al-man’u (المنع), mencegah. Adapun secara istilah artinya adalah,
أن تجتنب المرأة المعتدة المتوفى عنها زوجها كل ما يدعو إلى نكاحها ورغبة الآخرين فيها من طيب وكحل ولبس ومطيّب وخروج من منزل من غير حاجة.
“Seorang wanita yang berada dalam masa ‘iddah karena ditinggal mati suaminya hendaklah menjauhi semua yang dapat menarik laki-laki untuk menikahinya dan suka kepadanya, seperti minyak wangi, celak, pakaian (yang indah), perhiasan dan keluar rumah tanpa hajat.” [Al-Imdad bi Ahkaamil Haddaad, Asy-Syaikh DR. Fayhan Syaali Al-Mathiri, hal. 148 cet. Univ. Islam Madinah 1404 H]
2) Tidak boleh melakukan ihdad lebih dari tiga hari, kecuali seorang wanita yang ditinggal mati suaminya maka masa ihdadnya adalah 4 bulan 10 hari, dan sampai melahirkan apabila sedang hamil (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/437 no. 7484).
3) Kewajiban seorang wanita di masa ihdad ada lima:
•Pertama: Tinggal di rumah suaminya, tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali karena suatu hajat darurat seperti untuk pengobatan karena sakit atau membeli makanan apabila tidak ada orang lain yang membelikannya (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/440 no. 2724).
•Kedua: Tidak mengenakan wewangian, baik di pakaian maupun di badan.
•Ketiga: Tidak mengenakan perhiasan dengan segala bentuknya.
•Keempat: Tidak mengenakan pakaian yang indah.
•Kelima: Tidak mengenakan celak mata.
(Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/449 no. 19756)
4) Masa 'iddah wanita (masa tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain setelah terpisah dengan suaminya) yang ditinggal mati suaminya sama dengan masa ihdad-nya, yaitu selama 4 bulan 10 hari, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-'iddah) empat bulan sepuluh hari.” [Al-Baqoroh: 234]
Kecuali wanita hamil maka masa ‘iddah-nya sampai melahirkan, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu 'iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [Ath-Tholaaq: 4]
5) Apabila seorang wanita tidak melakukan ihdad selama masa ‘iddah kematian suami maka ia berdosa, dan apabila ia menikah di masa ‘iddah tersebut maka nikahnya batil. Adapun jika ia tidak melakukan ihdad dan menikah setelah berakhir masa ‘iddah maka ia berdosa namun nikahnya sah (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/486 no. 20504)
6) Tidak boleh keluar rumah untuk sekedar jalan-jalan atau berkunjung (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/467 no. 14114), dan boleh mengunjungi keluarganya, seperti ibunya jika dalam keadaan perlu untuk dikunjungi (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/476 no. 18875)
7) Tidak boleh keluar rumah untuk sholat di masjid, bahkan wanita lebih afdhal sholat di rumah di masa ihdad maupun tidak (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/467 no. 14259)
8) Boleh menjalani ihdad di selain rumah suaminya apabila ada suatu bahaya atau fitnah di rumah suaminya (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/471 no. 17703)
9) Wanita yang tidak menjalani ihdad maka ia berdosa, hendaklah ia memohon ampun dan bertaubat kepada Allah ta'ala serta memperbanyak dzikir, dan tidak perlu diqodho serta tidak ada kaffaroh (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/481 no. 5932)
10) Wanita yang baru mengetahui kematian suaminya setelah selesai masa ‘iddah dan ihdad-nya maka tidak ada lagi masa ‘iddah dan ihdad-nya, namun jika masih tersisa masanya hendaklah ia menjalani waktu yang tersisa saja (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 20/416 no. 14463 dan 20/417 no. 14506)
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
JANGAN SILAU dengan Kebaikan Orang Kafir
Jangan Silau dengan Kebaikan Orang Kafir:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pertama: Aqidah Islam yang benar, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajarkan kita untuk membenci musuh-musuh Allah ta’ala, bukannya memberikan penghormatan dan penghargaan kepada mereka.
Karena keimanan kepada kalimat tauhid "laa ilaaha illallah", yaitu meyakini bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya yang pantas disembah, dan semua yang disembah selain-Nya adalah salah, menuntut setiap muslim untuk memusuhi musuh-musuh Allah (yaitu orang-orang yang kafir kepada-Nya) dan mencintai wali-wali-Nya (yaitu orang-orang yang beriman kepada-Nya).
Allah ta’ala menegaskan,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir; berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun musuh Allah tersebut adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka dan karib kerabat mereka.” [Al-Mujadalah: 22]
Juga firman Allah jalla wa ’ala,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu PERMUSUHAN dan KEBENCIAN buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah yang satu saja.” [Al-Mumtahanah: 4]
Juga firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang yang kamu cintai; sebahagian mereka (orang-orang kafir) hanya pantas menjadi orang-orang yang dicintai bagi sebahagian yang lain (orang-orang kafir pula). Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai orang-orang yang dicintai, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” [Al-Maidah: 51]
Kedua: Aqidah Islam yang benar, Aqidah As-Salafus Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajarkan kepada kita agar jangan silau dan tertipu dengan "kebaikan" orang-orang kafir, sebab seluruh amalan mereka tertolak, tidak diterima oleh Allah tabaraka wa ta’ala. Hal itu disebabkan karena mereka telah melakukan dosa yang paling besar, yaitu menyekutukan Allah subhanahu wa ta'ala dan kafir kepada-Nya.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka harta-harta sedekah mereka (oleh Allah ta’ala) melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah: 54]
Juga firman-Nya,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqon: 23]
Juga firman-Nya,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’am: 88]
Juga firman-Nya,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalanmu.” [Az-Zumar: 65]
Ketiga: Aqidah Islam yang benar, Aqidah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, mengajarkan kepada kita bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah musuh yang akan terus berusaha menyesatkan kita.
Allah ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِير
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” [Al-Baqoroh: 120]
Juga firman-Nya,
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) memurtadkan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqoroh: 217]
Keempat: Aqidah Islam yang benar, yang diyakini seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, termasuk Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bahwa seluruh orang-orang kafir adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya. Allah ta’ala telah menghinakan mereka di dunia dan akhirat, bagaimana bisa seorang muslim memberikan penghormatan dan penghargaan kepada mereka...?!
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” [Al-Bayyinah: 6]
Juga firman-Nya,
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami!? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” [Al-Furqon: 44]
Juga firman-Nya,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maidah: 72]
Kelima: Aqidah Islam yang benar, Aqidah yang berlandaskan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' Ulama, mengajarkan kepada kaum muslimin bahwa para pendeta dan tokoh-tokoh agama Yahudi dan Nasrani adalah penipu umat, pemakan harta manusia dengan cara yang batil dan pemalsu kitab suci untuk meraup keuntungan duniawi dan menyesatkan manusia, maka janganlah tertipu dengan "kebaikan-kebaikan" mereka...!
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan Pendeta-pendeta Kristen benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” [At-Taubah: 34]
Juga firman-Nya,
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِندِ اللَّهِ لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُونَ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan (duniawi) yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” [Al-Baqorah: 79]
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pertama: Aqidah Islam yang benar, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajarkan kita untuk membenci musuh-musuh Allah ta’ala, bukannya memberikan penghormatan dan penghargaan kepada mereka.
Karena keimanan kepada kalimat tauhid "laa ilaaha illallah", yaitu meyakini bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya yang pantas disembah, dan semua yang disembah selain-Nya adalah salah, menuntut setiap muslim untuk memusuhi musuh-musuh Allah (yaitu orang-orang yang kafir kepada-Nya) dan mencintai wali-wali-Nya (yaitu orang-orang yang beriman kepada-Nya).
Allah ta’ala menegaskan,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir; berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, meskipun musuh Allah tersebut adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka dan karib kerabat mereka.” [Al-Mujadalah: 22]
Juga firman Allah jalla wa ’ala,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu PERMUSUHAN dan KEBENCIAN buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah yang satu saja.” [Al-Mumtahanah: 4]
Juga firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang yang kamu cintai; sebahagian mereka (orang-orang kafir) hanya pantas menjadi orang-orang yang dicintai bagi sebahagian yang lain (orang-orang kafir pula). Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai orang-orang yang dicintai, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” [Al-Maidah: 51]
Kedua: Aqidah Islam yang benar, Aqidah As-Salafus Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajarkan kepada kita agar jangan silau dan tertipu dengan "kebaikan" orang-orang kafir, sebab seluruh amalan mereka tertolak, tidak diterima oleh Allah tabaraka wa ta’ala. Hal itu disebabkan karena mereka telah melakukan dosa yang paling besar, yaitu menyekutukan Allah subhanahu wa ta'ala dan kafir kepada-Nya.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا مَنَعَهُمْ أَن تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلاَّ أَنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka harta-harta sedekah mereka (oleh Allah ta’ala) melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah: 54]
Juga firman-Nya,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqon: 23]
Juga firman-Nya,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’am: 88]
Juga firman-Nya,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalanmu.” [Az-Zumar: 65]
Ketiga: Aqidah Islam yang benar, Aqidah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, mengajarkan kepada kita bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah musuh yang akan terus berusaha menyesatkan kita.
Allah ta’ala berfirman,
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِير
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” [Al-Baqoroh: 120]
Juga firman-Nya,
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) memurtadkan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqoroh: 217]
Keempat: Aqidah Islam yang benar, yang diyakini seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, termasuk Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bahwa seluruh orang-orang kafir adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya. Allah ta’ala telah menghinakan mereka di dunia dan akhirat, bagaimana bisa seorang muslim memberikan penghormatan dan penghargaan kepada mereka...?!
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” [Al-Bayyinah: 6]
Juga firman-Nya,
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami!? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” [Al-Furqon: 44]
Juga firman-Nya,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maidah: 72]
Kelima: Aqidah Islam yang benar, Aqidah yang berlandaskan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' Ulama, mengajarkan kepada kaum muslimin bahwa para pendeta dan tokoh-tokoh agama Yahudi dan Nasrani adalah penipu umat, pemakan harta manusia dengan cara yang batil dan pemalsu kitab suci untuk meraup keuntungan duniawi dan menyesatkan manusia, maka janganlah tertipu dengan "kebaikan-kebaikan" mereka...!
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan Pendeta-pendeta Kristen benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” [At-Taubah: 34]
Juga firman-Nya,
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِندِ اللَّهِ لِيَشْتَرُواْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُونَ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan (duniawi) yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” [Al-Baqorah: 79]
Tidak Keluar Rumah itu Ibadah yang Agung untuk kaum Wanita
Tidak Keluar Rumah adalah Ibadah yang Agung bagi Wanita:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sahabat yang Mulia Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata,
ما تعبدت الله امرأة ، بمثل تقوى الله ، وجلوسها في بيتها
"Tidaklah seorang wanita beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah yang melebihi ketakwaan kepada Allah dan diam di rumah." [Tafsir As-Sam'ani, 4/279]
Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ أي: اقررن فيها، لأنه أسلم وأحفظ لَكُنَّ، {وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى} أي: لا تكثرن الخروج متجملات أو متطيبات، كعادة أهل الجاهلية الأولى، الذين لا علم عندهم ولا دين، فكل هذا دفع للشر وأسبابه
“Firman Allah ta’ala,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kalian wahai para wanita tetap di rumahmu” (Al-Ahzab:33)
Maknanya: Tinggallah di dalam rumah karena itu lebih menyelamatkan dan menjaga kalian.
Dan firman Allah ta’ala (pada lanjutan ayat),
وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Maknanya: Wahai para wanita, janganlah kalian sering keluar rumah dengan mempercantik diri atau mengenakan wewangian seperti kebiasaan wanita-wanita Jahiliyah dahulu yang tidak memiliki ilmu dan ketakwaan, maka semua larangan ini demi mencegah kejelekan dan sebab-sebabnya.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 663]
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sahabat yang Mulia Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata,
ما تعبدت الله امرأة ، بمثل تقوى الله ، وجلوسها في بيتها
"Tidaklah seorang wanita beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah yang melebihi ketakwaan kepada Allah dan diam di rumah." [Tafsir As-Sam'ani, 4/279]
Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ أي: اقررن فيها، لأنه أسلم وأحفظ لَكُنَّ، {وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى} أي: لا تكثرن الخروج متجملات أو متطيبات، كعادة أهل الجاهلية الأولى، الذين لا علم عندهم ولا دين، فكل هذا دفع للشر وأسبابه
“Firman Allah ta’ala,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kalian wahai para wanita tetap di rumahmu” (Al-Ahzab:33)
Maknanya: Tinggallah di dalam rumah karena itu lebih menyelamatkan dan menjaga kalian.
Dan firman Allah ta’ala (pada lanjutan ayat),
وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Maknanya: Wahai para wanita, janganlah kalian sering keluar rumah dengan mempercantik diri atau mengenakan wewangian seperti kebiasaan wanita-wanita Jahiliyah dahulu yang tidak memiliki ilmu dan ketakwaan, maka semua larangan ini demi mencegah kejelekan dan sebab-sebabnya.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 663]
Minggu, 24 Mei 2015
Pengertian HAILULAH, QAILULAH, 'AILULAH
TIDUR LAGI SEHABIS SHALAT SHUBUH
Apakah yg dimaksud dg HAILULAH, QAILULAH & 'AILULAH?
☆ HAILULAH adalah : tidur sehabis melaksanakan sholat subuh, dinamakan demikian krn tidur tsb dpt menghalangimu dr rejeki yg Allah tebar pd waktu pg hari.
☆ QAILULAH adalah : tidur SEBELUM melakukan sholat dhuhur sekitar 26 - 30 menit sblm dikumandangkannya adzan dhuhur, tidur jenis ini sgt bemanfaat dan sgt dianjurkan oleh Nabi Saw.
Habib novel Alaydrus Menjelaskan ketika musim panas rasulullah tidur sebelum Dzuhur dan ketika musim dingin beliau shalallahu 'alaihi wasallam tidur setelah dzhuhur, sumber buku Sehari Bersama Rasulullah SAW. karya Habib Novel Alaydrus solo...
☆ 'AILULAH adalah : tidur sehabis melakukan sholat ashar, tidur jenis satu ini dpt menyebabkan berbagai penyakit, diantaranya adalah : sesak napas dan murung dan gelisah.
Sebarkanlah,,,
Karena jarang diantara kita yg faham apa itu QAILULAH, HAILULAH & 'AILULAH sehingga bermanfaat bg semua dan terhindar segala macam penyakit, hissiyyah ataupun ma'nawiyyah. Aamiin YARABBAL`ALAMIIN
Wallahu`alam.
Apakah yg dimaksud dg HAILULAH, QAILULAH & 'AILULAH?
☆ HAILULAH adalah : tidur sehabis melaksanakan sholat subuh, dinamakan demikian krn tidur tsb dpt menghalangimu dr rejeki yg Allah tebar pd waktu pg hari.
☆ QAILULAH adalah : tidur SEBELUM melakukan sholat dhuhur sekitar 26 - 30 menit sblm dikumandangkannya adzan dhuhur, tidur jenis ini sgt bemanfaat dan sgt dianjurkan oleh Nabi Saw.
Habib novel Alaydrus Menjelaskan ketika musim panas rasulullah tidur sebelum Dzuhur dan ketika musim dingin beliau shalallahu 'alaihi wasallam tidur setelah dzhuhur, sumber buku Sehari Bersama Rasulullah SAW. karya Habib Novel Alaydrus solo...
☆ 'AILULAH adalah : tidur sehabis melakukan sholat ashar, tidur jenis satu ini dpt menyebabkan berbagai penyakit, diantaranya adalah : sesak napas dan murung dan gelisah.
Sebarkanlah,,,
Karena jarang diantara kita yg faham apa itu QAILULAH, HAILULAH & 'AILULAH sehingga bermanfaat bg semua dan terhindar segala macam penyakit, hissiyyah ataupun ma'nawiyyah. Aamiin YARABBAL`ALAMIIN
Wallahu`alam.
Hari
Arofah adalah hari di mana Allah menyempurnakan Islam dan
menyempurnakan nikmat-Nya ketika itu. Hari Arofah adalah hari haji Akbar
menurut mayoritas salaf. Hari Arofah juga adalah hari istimewa bagi
umat ini.
Anas bin Malik pernah mengatakan, “Hari Arofah lebih utama dari 10.000 hari-hari lainnya.”[1] Siapa saja yang berpuasa ketika itu akan mendapatkan ampunan dosa (yaitu dosa kecil) untuk dua tahun.
Mengenai hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”[2]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arofah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arofah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arofah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.”[3]
Ibnu Rajab selanjutnya menjelaskan bahwa siapa yang ingin mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa pada hari Arofah, maka lakukanlah hal-hal berikut.[4]
Pertama: Melaksanakan puasa Arofah. Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[5]
Kedua: Menjaga anggota badan dari hal-hal yang diharamkan pada hari tersebut.
Ketiga: Memperbanyak syahadat tauhid, keikhlasan dan kejujuran pada hari tersebut karena semuanya tadi adalah asas agama ini yang Allah sempurnakan pada hari Arofah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sering memperbanyak hal-hal tadi dan beliau menyebutkannya setelah menyebutkan bahwa do’a pada hari Arofah adalah sebaik-baik do’a. Disebutkan dalam hadits,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.”[6]
Keempat:Memerdekakan seorang budak jika mampu. Karena barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan anggota tubuhnya dari api neraka karena anggota tubuh budak yang ia merdekakan.
Kelima: Memperbanyak do’a ampunan dan pembebasan dari api neraka ketika itu karena hari Arofah adalah hari terkabulnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.”[7]
Dan untuk mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa, hendaklah pula dijauhi segala dosa yang dapat menghalangi dari mendapatkan ampunan. Di antara yang harus dijauhi adalah:
Pertama: Sifat sombong dan takabbur. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 23)
Sebagaimana pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Allah tidak akan memandang siapa saja yang menjulurkan celananya (di bawah mata kaki) dengan sombong.”[8]
Kedua: Tidak terus menerus dalam melakukan dosa-dosa besar (al kaba-ir).[9]
Itulah yang dinasehatkan oleh Ibnu Rajab agar seseorang bisa mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari Arofah.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari tersebut.
Ya Allah, terimalah setiap amalan kami di hari Arofah yang mulia ini dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapatkan pengampunan dosa dan pembebasan dari api neraka. Sesungguhnya engkau Maha Mengijabahi setiap do’a-do’a kami.
Segala puji bagi Allah yang dengan setiap nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Diselesaikan pada sore hari di hari yang baik untuk beramal sholih, Pangukan-Sleman, 7 Dzulhijah 1430 H
[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 489, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[2] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[3] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 482.
[4] Ini adalah penjelasan yang kami olah dari pemaparan Ibnu Rajab dengan sedikit penambahan dari kami.
[5] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[6] HR. Tirmidzi no. 3585, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[7] Idem
[8] HR. Bukhari no. 5783, dari Ibnu ‘Umar.
[9] Lihat Latho-if Al Ma’arif, 493-496.
Anas bin Malik pernah mengatakan, “Hari Arofah lebih utama dari 10.000 hari-hari lainnya.”[1] Siapa saja yang berpuasa ketika itu akan mendapatkan ampunan dosa (yaitu dosa kecil) untuk dua tahun.
Mengenai hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”[2]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arofah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arofah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arofah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.”[3]
Ibnu Rajab selanjutnya menjelaskan bahwa siapa yang ingin mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa pada hari Arofah, maka lakukanlah hal-hal berikut.[4]
Pertama: Melaksanakan puasa Arofah. Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[5]
Kedua: Menjaga anggota badan dari hal-hal yang diharamkan pada hari tersebut.
Ketiga: Memperbanyak syahadat tauhid, keikhlasan dan kejujuran pada hari tersebut karena semuanya tadi adalah asas agama ini yang Allah sempurnakan pada hari Arofah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sering memperbanyak hal-hal tadi dan beliau menyebutkannya setelah menyebutkan bahwa do’a pada hari Arofah adalah sebaik-baik do’a. Disebutkan dalam hadits,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.”[6]
Keempat:Memerdekakan seorang budak jika mampu. Karena barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan anggota tubuhnya dari api neraka karena anggota tubuh budak yang ia merdekakan.
Kelima: Memperbanyak do’a ampunan dan pembebasan dari api neraka ketika itu karena hari Arofah adalah hari terkabulnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.”[7]
Dan untuk mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa, hendaklah pula dijauhi segala dosa yang dapat menghalangi dari mendapatkan ampunan. Di antara yang harus dijauhi adalah:
Pertama: Sifat sombong dan takabbur. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 23)
Sebagaimana pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Allah tidak akan memandang siapa saja yang menjulurkan celananya (di bawah mata kaki) dengan sombong.”[8]
Kedua: Tidak terus menerus dalam melakukan dosa-dosa besar (al kaba-ir).[9]
Itulah yang dinasehatkan oleh Ibnu Rajab agar seseorang bisa mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari Arofah.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari tersebut.
Ya Allah, terimalah setiap amalan kami di hari Arofah yang mulia ini dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapatkan pengampunan dosa dan pembebasan dari api neraka. Sesungguhnya engkau Maha Mengijabahi setiap do’a-do’a kami.
Segala puji bagi Allah yang dengan setiap nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Diselesaikan pada sore hari di hari yang baik untuk beramal sholih, Pangukan-Sleman, 7 Dzulhijah 1430 H
[1] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 489, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[2] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[3] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 482.
[4] Ini adalah penjelasan yang kami olah dari pemaparan Ibnu Rajab dengan sedikit penambahan dari kami.
[5] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[6] HR. Tirmidzi no. 3585, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[7] Idem
[8] HR. Bukhari no. 5783, dari Ibnu ‘Umar.
[9] Lihat Latho-if Al Ma’arif, 493-496.
Petunjuk Nabi Muhammad dalam Pernikahan
Petunjuk Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Dalam Pernikahan
Pertama: Mempermudah Dalam Masalah Mahar
Al Baihaqi meriwayatkan ( 14721 ) sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.”
Dan hadits yang sama diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 2117, dengan lafaz,
خير النكاح أيسره
“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling ringan (maharnya).”
Dishahihkan oleh Al Albani.
قال في عون المعبود :
Disebutkan dalam kitab Aunul Ma’bud : “ Yang dimaksud dengan ringan adalah Memudahkan mempelai pria dengan menjadikan murah nilai mahar dan lainnya.
Al Allamah As Syaikh Al Azizi berkata, yaitu murahnya mahar, atau memudahkan dalam menerima pinangan.”
وروى الترمذي (1114) عن عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قال : (أَلَا لَا تُغَالُوا صَدُقَةَ النِّسَاءِ , فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ لَكَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , مَا عَلِمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَكَحَ شَيْئًا مِنْ نِسَائِهِ وَلَا أَنْكَحَ شَيْئًا مِنْ بَنَاتِهِ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً) صححه الألباني في "صحيح الترمذي" .
Imam Ahmad ( 23957 ) dan Ibnu Hibban ( 4095 ) meriwayatkan dari A’isyah Radliyallahu Anha sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ : تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا ، وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا ، وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا (حسنه الألباني في صحيح الجامع، رقم 2235)
“Sesungguhnya diantara kebaikan seorang perempuan adalah, mudah meminangnya, ringan maharnya, dan subur rahimnya.” (Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami, no. 2235).
Imam Tirmizi meriwayatkan, no. 1114, dari Umar bin Al Khatthab Radliyallahu Anhu dia berkata,
“Janganlah kalian menjadikan mahal mahar kaum wanita, karena sesungguhnya jika itu sebabkan kehormatan di dunia atau ketakwaan di sisi Allah, pastilah hal itu akan lebih diutamakan oleh Nabi Allah Shallallahu Alaihi Wasallam, saya tidak mengetahui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menikahi seorang pun dari Istri-istri beliau dan tidak pula menikahkan seorang pun dari putri-putri beliau lebih banyak dari dua belas uqiyyah.” (Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Turmudzi)
Satu Uqiyyah setara dengan 40 dirham, ukuran satu dirham dibandingkan gram adalah 2.975 gram.
Kedua: Pengumuman pernikahan
Imam At Tirmizi meriwayatkan (1089) dari Aisyah Radliallahu Anha, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ (وحسنه الألباني في الإرواء، 7/50) .
“Umumkanlah pernikahan ini.” Dihasankan oleh al Albani dalam “ Al Irwa’ ” ( 7/50 ).
Imam Nasai meriwayatkan (3369) dari Muhammad bin Hathib Radliyallahu Anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ : الدُّفُّ ، وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ (وحسنه الألباني)
“Pemisah antara yang halal dan yang haram adalah kendang dan bunyi-bunyian dalam (resepsi) pernikahan.” (Dihasankan oleh Al Albani0
Memukul kendang dalam pernikahan dikhususkan bagi kaum wanita.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Fath menyebutkan, “Hadits-hadits yang kuat tentang hal tersebut adalah pemberian izin bagi kaum wanita untuk memukul rebana. Dan kaum lelaki tidak dimasukkan dengan mereka (dalam hal kebolehannya), berdasarkan keumuman larangan bagi lelaki menyerupai kaum wanita.”
Ketiga: Walimah
Hukumnya merupakan sunnah muakkadah dalam pernikahan dan dia bagian dari pengumuman pernikahan. Wujudnya adalah menampakkan kebahagiaan serta kesenangan.
Dan dari Anas Radliallahu Anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada Abdur Rahman bin Auf ketika dia menikah,
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (متفق عليه)
“Laksanakanlah walimah meski hanya memotong seekor kambing.” (Muttafaq alaihi)
Sebagaian ulama berpendapat wajibnya walimah sebagaimana riwayat berikut :
Sebagaimana riwayat Ahmad (22526) dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata, ketika Ali meminang Fathimah, semoga Allah Ta’ala meridhai keduanya, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّهُ لَا بُدَّ لِلْعُرْسِ مِنْ وَلِيمَةٍ (قال الألباني في آداب الزفاف، رقم 72 وإسناده - كما قال الحافظ في الفتح لا بأس به)
“Sesungguhnya harus dilaksanakan walimah dalam sebuah pernikahan.” (Al Albani mengatakan dalam Adab Az Zafaf, no. 72. Sanad hadits tersebut –sebagaimana ungkapan al hafidz dalam Al fath– tidak ada masalah.”
Wajib hadir dalam walimah apabila memang diundang, sebagaimana riwayat :
Dan dari Abdullah bin Umar Radliyallahu anhuma sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا (متفق عليه)
“Apabila salah seorang dari kalian diundang kepada sebuah walimah maka hendaklah dia mendatanginya.” (Muttafaq Alaih)
Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata :
“Para Ulama Rahimahumullah menyebutkan, ‘Sesungguhnya wajib mendatangi undangan pernikahan pada hari pertama. Yaitu walimah pertama ketika dia memang dipilih untuk diundang. Apakah diundang dengan langsung didatangi secara pribadi, atau lewat perantara, atau dengan kartu undangan yang dikirimkan kepadanya. Dengan syarat di dalam walimah tersebut tidak ada kemungkaran. Jika didalamnya ada kemungkaran maka ada perinciannya, apabila dia hadir dan memungkinkan baginya mencegah kemungkaran maka wajib atasnya menghadirinya. Namun jika dia tidak mampu untuk itu maka dia tidak boleh menghadirinya.” (Liqo Babil Maftuh, 13/133).
Dibolehkan walimah dengan tanpa daging, sebagaimana riwayat Al Bukhari ( 4213 )
Dari Anas Radliyallahu Anhu dia berkata,
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالْمَدِينَةِ ثَلَاثَ لَيَالٍ يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ ، فَدَعَوْتُ الْمُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ ، وَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلَا لَحْمٍ ، وَمَا كَانَ فِيهَا إِلَّا أَنْ أَمَرَ بِلَالًا بِالْأَنْطَاعِ فَبُسِطَتْ فَأَلْقَى عَلَيْهَا التَّمْرَ وَالْأَقِطَ وَالسَّمْنَ
“Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melangsungkan pernikahan dengan Shafiyah selama tiga malam di tempat antara Khaibar dan Madinah. Lalu aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimah tersebut. Di sana tidak ada roti juga tidak daging, tidak ada apapun melainkan beliau memerintahkan Bilal untuk menghamparkan semacam permadani dan dihidangkan di atasnya korma, keju kering dan samin.”
Keempat :
Sangat dianjurkan mengucapkan ucapan selamat kepada kedua mempelai sebagaimana ungkapan kebahagiaan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam :
Dari abu Hurairah Radliyallahu Anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi Wasallam apabila beliau memberikan ucapan selamat kepada orang yang menikah beliau mendoakannya dengan doa,
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ( رواه أبو داود، رقم 2130وصححه الألباني)
“Semoga Allah memberkatimu, memberkati apa yang menimpamu dan menghimpun kalian berdua dalam kebaikan ) hadits riwayat abu Daud ( 2130 ) dan dishahihkan oleh Al Albani.
Kelima:
Sangat dianjurkan bagi suami ketika pertama kali menjumpai istrinya, beberapa hal berikut,
- Bersikap lembutan kepada istri saat pertama kali menjalin hubungan dengannya.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (26925) dari Asma binti Umaisy Radliyallahu Anha dia berkata,
كُنْتُ صَاحِبَةَ عَائِشَةَ الَّتِي هَيَّأَتْهَا وَأَدْخَلَتْهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعِي نِسْوَةٌ . قَالَتْ : فَوَاللَّهِ مَا وَجَدْنَا عِنْدَهُ قِرًى إِلَّا قَدَحًا مِنْ لَبَنٍ قَالَتْ : فَشَرِبَ مِنْهُ ثُمَّ نَاوَلَهُ عَائِشَةَ فَاسْتَحْيَتْ الْجَارِيَةُ فَقُلْنَا : لَا تَرُدِّي يَدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْهُ . فَأَخَذَتْهُ عَلَى حَيَاءٍ فَشَرِبَتْ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ : نَاوِلِي صَوَاحِبَكِ . فَقُلْنَا : لَا نَشْتَهِهِ . فَقَالَ : لَا تَجْمَعْنَ جُوعًا وَكَذِبًا .
“Aku adalah sahabat Aisyah yang menyiapkannya dan mengantarkannya menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam, bersamaku beberapa wanita. Demi Allah kami tidak mendapati suguhan atau jamuan yang beliau miliki melainkan satu mangkuk yang berisikan susu. Lalu Rasulullah minum dari bejana tadi kemudian memberikannya kepada Aisyah dan dia (Aisyah) menjadi malu. Maka kami berkata, ‘Janganlah engkau menolak tangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam, ambillah dari beliau.” Kemudian Aisyah pun meraihnya dengan perasaan malu lalu meminum dari bejana tadi. Kemudian beliau bersabda, ‘Berikanlah kepada sahabat-sahabatmu.’ Kami pun berkata, ‘Kami tidak selera.’ lalu beliau bersabda, ‘Janganlah kalian berkumpul dalam kondisi lapar dan berdusta.” (Dihasankan oleh Al Albani dalam kitab Aadabuz Zafaf, 19).
- Meletakkan tangan diatas kepala atau ubun-ubun isti dan mendoakannya :
Sebagaimana riwayat Abu Daud (2160) dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam beliau bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita, maka hendaklah dia meletakkan tangannya diatas ubun-ubunnya dan berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ (حسنه الألباني)
“Ya allah aku memohon kepada Engkau kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan untuknya, dan aku berlindung kepada Engkau dari keburukannya dan keburukan apa yang Engkau ciptakan padanya.” (Dihasankan oleh Al Albani)
- Dan sebagian ulama salaf menganjurkan agar suami-stri tersebut shalat dua rakaat bersama-sama :
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (17156) dari Syaqiq, dia berkata, “Seseorang datang kepada Abdullah bin Masud seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku menikahi perempuan muda dan saya takut dia akan membenciku, dia berkata, lalu Abdullah berkata,
إن الألف من الله ، والفرك من الشيطان ، يريد أن يكره إليكم ما أحل الله لكم ، فإذا أتتك فمرها أن تصلي وراءك ركعتين (صححه الألباني في "آداب الزفاف")
“Sesungguhnya kelembutan itu datangnya dari Allah dan kemurkaan itu datangnya dari Syaitan. Dia menginginkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah kepadamu menjadi membencimu. Maka apabila engkau mendatanginya hendaklah engkau memerintahkannya agar dia shalat dibelakangmu sebanyak dua rakaat.” (Dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab “Adabuz Zafaaf”).
- Berdoa ketika hendak menggauli istrinya,
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah syetan dari kami dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami.”
Sebagaimana riwayat Al Bukhari (3271) dari Abdullah bin Abbas Radliallahu anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam, beliau bersabda,
أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ : بِسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا ، فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ
“Adapun sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian jika hendak menggauli istrinya, maka hendaknya dia berdoa, “Dengan menyebut nama Allah, ‘Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami,’ maka keduanya diberikan rizki berupa anak yang tidak akan diganggu oleh setan.”
#dan akhirnya...wasiat ini sangat ditekankan kepada berinteraksi dan mempergauli secara baik, dan hendaklah kedua belah pihak antara suami dan istri mengedepankan bertakwa kepada Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (سورة النساء: 19)
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisaa: 19)
Dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا : ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْت (صححه الألباني في "تخريج المشكاة"، رقم 3254)
“Apabila seorang istri shalat lima waktu, puasa bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah engkau dari pintu surga mana saja yang engkau kehendaki.” (Dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Takhriijul Misykaat, no. 3254)
Wallahu A’lam bish-shawab.
Pertama: Mempermudah Dalam Masalah Mahar
Al Baihaqi meriwayatkan ( 14721 ) sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.”
Dan hadits yang sama diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 2117, dengan lafaz,
خير النكاح أيسره
“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling ringan (maharnya).”
Dishahihkan oleh Al Albani.
قال في عون المعبود :
Disebutkan dalam kitab Aunul Ma’bud : “ Yang dimaksud dengan ringan adalah Memudahkan mempelai pria dengan menjadikan murah nilai mahar dan lainnya.
Al Allamah As Syaikh Al Azizi berkata, yaitu murahnya mahar, atau memudahkan dalam menerima pinangan.”
وروى الترمذي (1114) عن عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قال : (أَلَا لَا تُغَالُوا صَدُقَةَ النِّسَاءِ , فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتْ مَكْرُمَةً فِي الدُّنْيَا أَوْ تَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ لَكَانَ أَوْلَاكُمْ بِهَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , مَا عَلِمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَكَحَ شَيْئًا مِنْ نِسَائِهِ وَلَا أَنْكَحَ شَيْئًا مِنْ بَنَاتِهِ عَلَى أَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً) صححه الألباني في "صحيح الترمذي" .
Imam Ahmad ( 23957 ) dan Ibnu Hibban ( 4095 ) meriwayatkan dari A’isyah Radliyallahu Anha sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ : تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا ، وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا ، وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا (حسنه الألباني في صحيح الجامع، رقم 2235)
“Sesungguhnya diantara kebaikan seorang perempuan adalah, mudah meminangnya, ringan maharnya, dan subur rahimnya.” (Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami, no. 2235).
Imam Tirmizi meriwayatkan, no. 1114, dari Umar bin Al Khatthab Radliyallahu Anhu dia berkata,
“Janganlah kalian menjadikan mahal mahar kaum wanita, karena sesungguhnya jika itu sebabkan kehormatan di dunia atau ketakwaan di sisi Allah, pastilah hal itu akan lebih diutamakan oleh Nabi Allah Shallallahu Alaihi Wasallam, saya tidak mengetahui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menikahi seorang pun dari Istri-istri beliau dan tidak pula menikahkan seorang pun dari putri-putri beliau lebih banyak dari dua belas uqiyyah.” (Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Turmudzi)
Satu Uqiyyah setara dengan 40 dirham, ukuran satu dirham dibandingkan gram adalah 2.975 gram.
Kedua: Pengumuman pernikahan
Imam At Tirmizi meriwayatkan (1089) dari Aisyah Radliallahu Anha, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ (وحسنه الألباني في الإرواء، 7/50) .
“Umumkanlah pernikahan ini.” Dihasankan oleh al Albani dalam “ Al Irwa’ ” ( 7/50 ).
Imam Nasai meriwayatkan (3369) dari Muhammad bin Hathib Radliyallahu Anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ : الدُّفُّ ، وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ (وحسنه الألباني)
“Pemisah antara yang halal dan yang haram adalah kendang dan bunyi-bunyian dalam (resepsi) pernikahan.” (Dihasankan oleh Al Albani0
Memukul kendang dalam pernikahan dikhususkan bagi kaum wanita.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Fath menyebutkan, “Hadits-hadits yang kuat tentang hal tersebut adalah pemberian izin bagi kaum wanita untuk memukul rebana. Dan kaum lelaki tidak dimasukkan dengan mereka (dalam hal kebolehannya), berdasarkan keumuman larangan bagi lelaki menyerupai kaum wanita.”
Ketiga: Walimah
Hukumnya merupakan sunnah muakkadah dalam pernikahan dan dia bagian dari pengumuman pernikahan. Wujudnya adalah menampakkan kebahagiaan serta kesenangan.
Dan dari Anas Radliallahu Anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada Abdur Rahman bin Auf ketika dia menikah,
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (متفق عليه)
“Laksanakanlah walimah meski hanya memotong seekor kambing.” (Muttafaq alaihi)
Sebagaian ulama berpendapat wajibnya walimah sebagaimana riwayat berikut :
Sebagaimana riwayat Ahmad (22526) dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata, ketika Ali meminang Fathimah, semoga Allah Ta’ala meridhai keduanya, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّهُ لَا بُدَّ لِلْعُرْسِ مِنْ وَلِيمَةٍ (قال الألباني في آداب الزفاف، رقم 72 وإسناده - كما قال الحافظ في الفتح لا بأس به)
“Sesungguhnya harus dilaksanakan walimah dalam sebuah pernikahan.” (Al Albani mengatakan dalam Adab Az Zafaf, no. 72. Sanad hadits tersebut –sebagaimana ungkapan al hafidz dalam Al fath– tidak ada masalah.”
Wajib hadir dalam walimah apabila memang diundang, sebagaimana riwayat :
Dan dari Abdullah bin Umar Radliyallahu anhuma sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا (متفق عليه)
“Apabila salah seorang dari kalian diundang kepada sebuah walimah maka hendaklah dia mendatanginya.” (Muttafaq Alaih)
Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata :
“Para Ulama Rahimahumullah menyebutkan, ‘Sesungguhnya wajib mendatangi undangan pernikahan pada hari pertama. Yaitu walimah pertama ketika dia memang dipilih untuk diundang. Apakah diundang dengan langsung didatangi secara pribadi, atau lewat perantara, atau dengan kartu undangan yang dikirimkan kepadanya. Dengan syarat di dalam walimah tersebut tidak ada kemungkaran. Jika didalamnya ada kemungkaran maka ada perinciannya, apabila dia hadir dan memungkinkan baginya mencegah kemungkaran maka wajib atasnya menghadirinya. Namun jika dia tidak mampu untuk itu maka dia tidak boleh menghadirinya.” (Liqo Babil Maftuh, 13/133).
Dibolehkan walimah dengan tanpa daging, sebagaimana riwayat Al Bukhari ( 4213 )
Dari Anas Radliyallahu Anhu dia berkata,
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالْمَدِينَةِ ثَلَاثَ لَيَالٍ يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ ، فَدَعَوْتُ الْمُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ ، وَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلَا لَحْمٍ ، وَمَا كَانَ فِيهَا إِلَّا أَنْ أَمَرَ بِلَالًا بِالْأَنْطَاعِ فَبُسِطَتْ فَأَلْقَى عَلَيْهَا التَّمْرَ وَالْأَقِطَ وَالسَّمْنَ
“Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melangsungkan pernikahan dengan Shafiyah selama tiga malam di tempat antara Khaibar dan Madinah. Lalu aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimah tersebut. Di sana tidak ada roti juga tidak daging, tidak ada apapun melainkan beliau memerintahkan Bilal untuk menghamparkan semacam permadani dan dihidangkan di atasnya korma, keju kering dan samin.”
Keempat :
Sangat dianjurkan mengucapkan ucapan selamat kepada kedua mempelai sebagaimana ungkapan kebahagiaan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam :
Dari abu Hurairah Radliyallahu Anhu sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi Wasallam apabila beliau memberikan ucapan selamat kepada orang yang menikah beliau mendoakannya dengan doa,
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ( رواه أبو داود، رقم 2130وصححه الألباني)
“Semoga Allah memberkatimu, memberkati apa yang menimpamu dan menghimpun kalian berdua dalam kebaikan ) hadits riwayat abu Daud ( 2130 ) dan dishahihkan oleh Al Albani.
Kelima:
Sangat dianjurkan bagi suami ketika pertama kali menjumpai istrinya, beberapa hal berikut,
- Bersikap lembutan kepada istri saat pertama kali menjalin hubungan dengannya.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (26925) dari Asma binti Umaisy Radliyallahu Anha dia berkata,
كُنْتُ صَاحِبَةَ عَائِشَةَ الَّتِي هَيَّأَتْهَا وَأَدْخَلَتْهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعِي نِسْوَةٌ . قَالَتْ : فَوَاللَّهِ مَا وَجَدْنَا عِنْدَهُ قِرًى إِلَّا قَدَحًا مِنْ لَبَنٍ قَالَتْ : فَشَرِبَ مِنْهُ ثُمَّ نَاوَلَهُ عَائِشَةَ فَاسْتَحْيَتْ الْجَارِيَةُ فَقُلْنَا : لَا تَرُدِّي يَدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْهُ . فَأَخَذَتْهُ عَلَى حَيَاءٍ فَشَرِبَتْ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ : نَاوِلِي صَوَاحِبَكِ . فَقُلْنَا : لَا نَشْتَهِهِ . فَقَالَ : لَا تَجْمَعْنَ جُوعًا وَكَذِبًا .
“Aku adalah sahabat Aisyah yang menyiapkannya dan mengantarkannya menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam, bersamaku beberapa wanita. Demi Allah kami tidak mendapati suguhan atau jamuan yang beliau miliki melainkan satu mangkuk yang berisikan susu. Lalu Rasulullah minum dari bejana tadi kemudian memberikannya kepada Aisyah dan dia (Aisyah) menjadi malu. Maka kami berkata, ‘Janganlah engkau menolak tangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam, ambillah dari beliau.” Kemudian Aisyah pun meraihnya dengan perasaan malu lalu meminum dari bejana tadi. Kemudian beliau bersabda, ‘Berikanlah kepada sahabat-sahabatmu.’ Kami pun berkata, ‘Kami tidak selera.’ lalu beliau bersabda, ‘Janganlah kalian berkumpul dalam kondisi lapar dan berdusta.” (Dihasankan oleh Al Albani dalam kitab Aadabuz Zafaf, 19).
- Meletakkan tangan diatas kepala atau ubun-ubun isti dan mendoakannya :
Sebagaimana riwayat Abu Daud (2160) dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam beliau bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita, maka hendaklah dia meletakkan tangannya diatas ubun-ubunnya dan berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ (حسنه الألباني)
“Ya allah aku memohon kepada Engkau kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan untuknya, dan aku berlindung kepada Engkau dari keburukannya dan keburukan apa yang Engkau ciptakan padanya.” (Dihasankan oleh Al Albani)
- Dan sebagian ulama salaf menganjurkan agar suami-stri tersebut shalat dua rakaat bersama-sama :
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (17156) dari Syaqiq, dia berkata, “Seseorang datang kepada Abdullah bin Masud seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku menikahi perempuan muda dan saya takut dia akan membenciku, dia berkata, lalu Abdullah berkata,
إن الألف من الله ، والفرك من الشيطان ، يريد أن يكره إليكم ما أحل الله لكم ، فإذا أتتك فمرها أن تصلي وراءك ركعتين (صححه الألباني في "آداب الزفاف")
“Sesungguhnya kelembutan itu datangnya dari Allah dan kemurkaan itu datangnya dari Syaitan. Dia menginginkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah kepadamu menjadi membencimu. Maka apabila engkau mendatanginya hendaklah engkau memerintahkannya agar dia shalat dibelakangmu sebanyak dua rakaat.” (Dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab “Adabuz Zafaaf”).
- Berdoa ketika hendak menggauli istrinya,
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah syetan dari kami dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami.”
Sebagaimana riwayat Al Bukhari (3271) dari Abdullah bin Abbas Radliallahu anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam, beliau bersabda,
أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ : بِسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا ، فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ
“Adapun sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian jika hendak menggauli istrinya, maka hendaknya dia berdoa, “Dengan menyebut nama Allah, ‘Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau rizkikan kepada kami,’ maka keduanya diberikan rizki berupa anak yang tidak akan diganggu oleh setan.”
#dan akhirnya...wasiat ini sangat ditekankan kepada berinteraksi dan mempergauli secara baik, dan hendaklah kedua belah pihak antara suami dan istri mengedepankan bertakwa kepada Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (سورة النساء: 19)
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisaa: 19)
Dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
إِذَا صَلَّتْ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا : ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْت (صححه الألباني في "تخريج المشكاة"، رقم 3254)
“Apabila seorang istri shalat lima waktu, puasa bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah engkau dari pintu surga mana saja yang engkau kehendaki.” (Dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Takhriijul Misykaat, no. 3254)
Wallahu A’lam bish-shawab.
Jangan HIZBIYAH
JANGAN HIZBIYAH
Alhamdulillah..
Banyak saudara/i kita yang berlomba kepada kebaikan..
Tuk menebar sunnah..
Mengajak manusia kepada jalan Allah..
Majelis majelis taklim merebak..
Grup - grup BB merambah..
Berbagai media telah menjadi wasilah..
Alhamdulillah..
Banyak saudara/i kita yang berlomba kepada kebaikan..
Tuk menebar sunnah..
Mengajak manusia kepada jalan Allah..
Majelis majelis taklim merebak..
Grup - grup BB merambah..
Berbagai media telah menjadi wasilah..
Namun..
Ada sesuatu..
Terkadang kita terkena ujub..
Merasa telah berjasa untuk dakwah..
Padahal..
Kalau bukan karena Allah yang memberi hidayah..
Tentu kita tersesat jalan..
Robbuna berfirman:
بمنون عليك أن أسلموا قل لا تمنوا علي إسلامكم بل الله يمن عليكم أن هداكم للإيمان
“Mereka mengungkit keislaman mereka kepadamu. Katakan, “Janganlah kamu mengungkit keislaman kalian kepadaku, tetapi Allahlah yang memberikan kepada kalian hidayah kepada iman.” (Al Hujurot: 17).
Pujilah Allah atas nikmat hidayah sunnah..
Pujilah Allah yang telah memberi kekuatan menebar sunnah..
Ada sesuatu lain..
Ya.. Ini juga penting..
Radio, televisi, grup BBM, facebook dan sebagainya..
Hanyalah wasilah dan bukan tujuan..
Namun..
Terkadang kita berbangga dengan nama…
Sehingga menjerat kita dalam tali hizbiyyah..
Padahal Allah Ta’ala berfirman:
ولا تكونوا من المشركين من الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا كل حزب بما لديهم فرحون
"Janganlah kalian seperti kaum musyrikin. Orang-orang yang memecah belah agama dan mereka menjadi berkelompok-kelompok. Setiap kelompok berbangga dengan apa yang ada pada mereka.” (Ar Ruum: 31-32).
Inilah hakikat hizbiyyah..
Berbangga dengan nama organisasi..
Berbangga dengan ustadz fulan..
Berbangga dengan radio anu..
Lalu memberikan loyalitas dan permusuhan di atasnya..
Musibah.. Saudara/i ku..
Itu adalah sebagian kecil dari penyakit dakwah..
Yang merusak pejalanan mulia ini..
Semoga keberkahan selalu menyapa kita di hari ini..
Amiin..
-- Ust. Badrusalam Lc.
Ada sesuatu..
Terkadang kita terkena ujub..
Merasa telah berjasa untuk dakwah..
Padahal..
Kalau bukan karena Allah yang memberi hidayah..
Tentu kita tersesat jalan..
Robbuna berfirman:
بمنون عليك أن أسلموا قل لا تمنوا علي إسلامكم بل الله يمن عليكم أن هداكم للإيمان
“Mereka mengungkit keislaman mereka kepadamu. Katakan, “Janganlah kamu mengungkit keislaman kalian kepadaku, tetapi Allahlah yang memberikan kepada kalian hidayah kepada iman.” (Al Hujurot: 17).
Pujilah Allah atas nikmat hidayah sunnah..
Pujilah Allah yang telah memberi kekuatan menebar sunnah..
Ada sesuatu lain..
Ya.. Ini juga penting..
Radio, televisi, grup BBM, facebook dan sebagainya..
Hanyalah wasilah dan bukan tujuan..
Namun..
Terkadang kita berbangga dengan nama…
Sehingga menjerat kita dalam tali hizbiyyah..
Padahal Allah Ta’ala berfirman:
ولا تكونوا من المشركين من الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا كل حزب بما لديهم فرحون
"Janganlah kalian seperti kaum musyrikin. Orang-orang yang memecah belah agama dan mereka menjadi berkelompok-kelompok. Setiap kelompok berbangga dengan apa yang ada pada mereka.” (Ar Ruum: 31-32).
Inilah hakikat hizbiyyah..
Berbangga dengan nama organisasi..
Berbangga dengan ustadz fulan..
Berbangga dengan radio anu..
Lalu memberikan loyalitas dan permusuhan di atasnya..
Musibah.. Saudara/i ku..
Itu adalah sebagian kecil dari penyakit dakwah..
Yang merusak pejalanan mulia ini..
Semoga keberkahan selalu menyapa kita di hari ini..
Amiin..
-- Ust. Badrusalam Lc.
Ancaman untuk Orang yang Suka Terlambat Menghadiri Khutbah sholat Jum'at
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
احْضُرُوا الذِّكْرَ وَادْنُوا مِنَ الإِمَامِ فَإِنَّ الرَّجُلَ لاَ
يَزَالُ يَتَبَاعَدُ حَتَّى يُؤَخَّرَ فِى الْجَنَّةِ وَإِنْ دَخَلَهَا
“Hadirilah khutbah dan mendekatlah kepada imam, karena sesungguhnya ada orang yang senantiasa menjauh sampai ia diakhirkan di surga meski ia memasukinya.” [HR. Abu Daud dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 365]
Beberapa Pelajaran:
1) Celaan terhadap orang-orang yang tidak bersegera untuk menghadiri khutbah dan sholat Jum’at. Abu Ath-Thayyib rahimahullah berkata,
وَفِيهِ تَوْهِين أَمْر الْمُتَأَخِّرِينَ وَتَسْفِيه رَأْيهمْ حَيْثُ وَضَعُوا أَنْفُسهمْ مِنْ أَعَالِي الْأُمُور إِلَى أَسَافِلهَا
“Dalam hadits ini terdapat perendahan terhadap perbuatan orang-orang yang suka terlambat dan celaan terhadap kebodohan mereka karena telah menurunkan diri-diri mereka sendiri dari ketinggian amalan kepada yang rendah.” [‘Aunul Ma’bud, 3/457]
2) Melambatkan diri dalam menghadiri khutbah dan sholat Jum’at adalah sebab diakhirkannya seseorang untuk masuk surga, sebagian ulama menjelaskan, bisa juga bermakna derajatnya di surga diturunkan.
3) Perintah bersegera menghadiri khutbah sebelum khatib naik mimbar.
4) Pentingnya mendengarkan khutbah, menyimak dan memahaminya dengan baik (apabila khutbahnya berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan pemahaman Salaf), jangan tidur dan jangan berbuat sia-sia. Inilah maksud perintah mendekati imam.
5) Keutamaan sholat Jum’at di shaf pertama. Ini juga maksud perintah mendekati imam.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray.
“Hadirilah khutbah dan mendekatlah kepada imam, karena sesungguhnya ada orang yang senantiasa menjauh sampai ia diakhirkan di surga meski ia memasukinya.” [HR. Abu Daud dari Samuroh bin Jundub radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 365]
Beberapa Pelajaran:
1) Celaan terhadap orang-orang yang tidak bersegera untuk menghadiri khutbah dan sholat Jum’at. Abu Ath-Thayyib rahimahullah berkata,
وَفِيهِ تَوْهِين أَمْر الْمُتَأَخِّرِينَ وَتَسْفِيه رَأْيهمْ حَيْثُ وَضَعُوا أَنْفُسهمْ مِنْ أَعَالِي الْأُمُور إِلَى أَسَافِلهَا
“Dalam hadits ini terdapat perendahan terhadap perbuatan orang-orang yang suka terlambat dan celaan terhadap kebodohan mereka karena telah menurunkan diri-diri mereka sendiri dari ketinggian amalan kepada yang rendah.” [‘Aunul Ma’bud, 3/457]
2) Melambatkan diri dalam menghadiri khutbah dan sholat Jum’at adalah sebab diakhirkannya seseorang untuk masuk surga, sebagian ulama menjelaskan, bisa juga bermakna derajatnya di surga diturunkan.
3) Perintah bersegera menghadiri khutbah sebelum khatib naik mimbar.
4) Pentingnya mendengarkan khutbah, menyimak dan memahaminya dengan baik (apabila khutbahnya berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan pemahaman Salaf), jangan tidur dan jangan berbuat sia-sia. Inilah maksud perintah mendekati imam.
5) Keutamaan sholat Jum’at di shaf pertama. Ini juga maksud perintah mendekati imam.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray.
SYIRIK PEMBATAL KEIMANAN
📛📛 SYIRIK PEMBATAL KEIMANAN 📛📛
Sebagaimana wudhu/shalat seseorang batal karena keluar angin dari duburnya. Maka keislaman seseorang bisa batal akibat perbuatan syirik yang ia lakukan.
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء
Sebagaimana wudhu/shalat seseorang batal karena keluar angin dari duburnya. Maka keislaman seseorang bisa batal akibat perbuatan syirik yang ia lakukan.
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan
Dia mengampuni semua dosa selain syirik itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. (An-Nisaa’: 48)
Syirik adalah perbuatan menyekutukan/mensejajarkan Allah dengan makhluk-Nya dalam Rubuubiyyah-Nya, Uluuhiyyah-Nya dan Al-Asmaa’ was Shifaat.
Al-Imam Ibnu Jariir At-Thabari As-Syaafi’i, “Mereka kaum musyrikin itu meyakini Allah sebagai Tuhan yang menciptakan mereka, memberi rizqi kepada mereka, menghidupkan mereka, mematikan mereka, namun mereka menjadikan Allah sebagai sekutu/tandingan dalam berbagai amalan ibadah dan doa-doa mereka.” (Tafsir surat Yuusuf ayat 106)
Al-Haafidzh Ibnu Katsir As-Syaafi’i, “Syirik adalah menyekutukan Allah dalam beribadah kepada-Nya.” (2/512)
Kendati demikian, jika seseorang bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya atas perbuatan syiriknya itu, maka Allah akan mengampuninya. Sebaliknya, jika seseorang mati di atas perbuatan syirik itu dalam keadaan belum sempat bertaubat daripadanya, maka ia akan kekal di neraka, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Qur’an.
Fikri Abul Hasan
Whatsapp “Madrasah Salafiyyah”
Syirik adalah perbuatan menyekutukan/mensejajarkan Allah dengan makhluk-Nya dalam Rubuubiyyah-Nya, Uluuhiyyah-Nya dan Al-Asmaa’ was Shifaat.
Al-Imam Ibnu Jariir At-Thabari As-Syaafi’i, “Mereka kaum musyrikin itu meyakini Allah sebagai Tuhan yang menciptakan mereka, memberi rizqi kepada mereka, menghidupkan mereka, mematikan mereka, namun mereka menjadikan Allah sebagai sekutu/tandingan dalam berbagai amalan ibadah dan doa-doa mereka.” (Tafsir surat Yuusuf ayat 106)
Al-Haafidzh Ibnu Katsir As-Syaafi’i, “Syirik adalah menyekutukan Allah dalam beribadah kepada-Nya.” (2/512)
Kendati demikian, jika seseorang bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya atas perbuatan syiriknya itu, maka Allah akan mengampuninya. Sebaliknya, jika seseorang mati di atas perbuatan syirik itu dalam keadaan belum sempat bertaubat daripadanya, maka ia akan kekal di neraka, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Qur’an.
Fikri Abul Hasan
Whatsapp “Madrasah Salafiyyah”
Sabtu, 23 Mei 2015
Alasan Harus piih-pilih Teman Menurut Islam
6 Alasan Anda Harus PILIH - PILIH TEMAN
Tidaklah keliru, jika anda memiliki prinsip dalam memilih - milih manusia yang layak untuk anda jadikan teman, apalagi teman karib. Karena teman merupakan salah satu sebab yang paling besar bagi seseorang untuk masuk ke dalam Surga atau Neraka.
Berikut adalah alasan-alasan kenapa anda harus memilah teman karib anda.
ALLAH Azza wa Jalla dan Rasul-NYA shallallahu ‘alaihi wasallam MEMERINTAHKAN KITA UNTUK BERTEMAN DENGAN ORANG SHALIH.
ALLAH Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada ALLAH dan tetapilah orang-orang yang jujur.” (QS. at-Taubah (9) : 119)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا تصاحب إلا مؤمنا ولا يأكل طعامك إلا تقي
“Jangan berteman kecuali jika dia seorang mukmin, dan tidak pula makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani)
Dan cukuplah perintah ALLAH dan Rasul-NYA kita jadikan sebagai alasan untuk berteman dengan orang-orang shalih dan menjauhi orang-orang yang jelek.
Teman yang jelek menggiring anda masuk Neraka sebagaimana teman yang shalih mengajak anda masuk surga.
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَيَا قَوْمِ مَا لِي أَدْعُوكُمْ إِلَى النَّجَاةِ وَتَدْعُونَنِي إِلَى النَّارِ (41) تَدْعُونَنِي لِأَكْفُرَ بِاللَّهِ وَأُشْرِكَ بِهِ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَأَنَا أَدْعُوكُمْ إِلَى الْعَزِيزِ الْغَفَّارِ (42)
“Wahai kaumku, bagaimanakah ini. Aku menyeru kalian kepada keselamatan, namun kalian mengajakku menuju ke Neraka?. Mengapa kalian menyeruku untuk kafir kepada ALLAH dan mempersekutukan-NYA dengan sesuatu yang aku tidak memiliki ilmu tentangnya, sedangkan aku senantiasa menyeru kalian (untuk beriman) kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun?.” (QS. al-Mu’min (40) : 41-42)
Pertemanan diantara orang shalih akan kekal hingga akhirat.
Ikatan pertemanan yang berlandaskan iman dan Islam, akan senantiasa utuh hingga di akhirat.
ALLAH Jalla wa Ala berfirman,
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman karib pada hari itu (pembalasan) akan bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf (43) : 67)
Sebaliknya orang-orang yang ikatan pertemanannya berlandaskan dunia dan hawa nafsu, maka akan saling mencela dan bermusuhan di akhirat.
Orang-orang yang berteman dengan teman-teman yang jelek agamanya di hari kiamat akan menyesal dengan penyesalan yang mendalam.
ALLAH Jalla wa ‘Ala berfirman,
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا (29)
“Pada hari ketika orang-orang zhalim menggigit jari tangan mereka, seraya berkata “Duhai, seandainya dahulu aku mengambil jalan bersama Rasul (utusan ALLAH). Duhai seandainya aku TIDAK MENJADIKAN FULAN TEMAN KARIBKU. Sesungguhnya dia telah menyesatkanku dari petunjuk (al-Qur’an) ketika ia datang kepadaku, dan sungguh setan benar-benar licik terhadap manusia.” (QS. al-Furqan (25) : 27-29)
Teman-teman yang jelek melalaikan hati anda dari mengingat ALLAH dan memberikan pengaruh buruk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman duduk yang SHALIH dengan teman duduk yang JELEK, seperti perumpamaan pedagang minyak wangi dengan pandai besi. Adapun pedagang minyak wangi, maka boleh jadi ia mengoleskan minyaknya kepadamu, atau engkau membeli darinya atau paling tidak engkau mendapatkan bau harum darinya. Adapun seorang pandai besi, maka akan membakar bajumu atau engkau mendapatkan bau apek darinya.” (HR. al-Bukhari & Muslim. Dari Abu Musa al-Asya’ari)
Seorang teman yang shalih tentu akan senantiasa menasehatimu dan mengingatkanmu kepada ALLAH, sedang teman yang jelek maka akan melalaikan dirimu dari mengingat ALLAH.
Sifat seseorang berbanding lurus dengan sifat teman dekatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Keshalihan seseorang itu sebagaimana keshalihan teman dekatnya, maka hendaknya kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman dekat.” (HR. Abu Dawud & Tirmidziy. Dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani).
Sekarang tengoklah diri kita, dengan siapa kita berteman dekat? Apakah dari golongan orang-orang shalih? Ataukah justru dari golongan orang-orang tidak shalih?
Segera benahi diri kita masing-masing, jika ingin menjadi baik maka sudah seyogyanya sekarang kita mulai mengambil orang-orang shalih sebagai teman dekat kita.
Tidaklah keliru, jika anda memiliki prinsip dalam memilih - milih manusia yang layak untuk anda jadikan teman, apalagi teman karib. Karena teman merupakan salah satu sebab yang paling besar bagi seseorang untuk masuk ke dalam Surga atau Neraka.
Berikut adalah alasan-alasan kenapa anda harus memilah teman karib anda.
ALLAH Azza wa Jalla dan Rasul-NYA shallallahu ‘alaihi wasallam MEMERINTAHKAN KITA UNTUK BERTEMAN DENGAN ORANG SHALIH.
ALLAH Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada ALLAH dan tetapilah orang-orang yang jujur.” (QS. at-Taubah (9) : 119)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا تصاحب إلا مؤمنا ولا يأكل طعامك إلا تقي
“Jangan berteman kecuali jika dia seorang mukmin, dan tidak pula makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani)
Dan cukuplah perintah ALLAH dan Rasul-NYA kita jadikan sebagai alasan untuk berteman dengan orang-orang shalih dan menjauhi orang-orang yang jelek.
Teman yang jelek menggiring anda masuk Neraka sebagaimana teman yang shalih mengajak anda masuk surga.
ALLAH Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَيَا قَوْمِ مَا لِي أَدْعُوكُمْ إِلَى النَّجَاةِ وَتَدْعُونَنِي إِلَى النَّارِ (41) تَدْعُونَنِي لِأَكْفُرَ بِاللَّهِ وَأُشْرِكَ بِهِ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَأَنَا أَدْعُوكُمْ إِلَى الْعَزِيزِ الْغَفَّارِ (42)
“Wahai kaumku, bagaimanakah ini. Aku menyeru kalian kepada keselamatan, namun kalian mengajakku menuju ke Neraka?. Mengapa kalian menyeruku untuk kafir kepada ALLAH dan mempersekutukan-NYA dengan sesuatu yang aku tidak memiliki ilmu tentangnya, sedangkan aku senantiasa menyeru kalian (untuk beriman) kepada Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun?.” (QS. al-Mu’min (40) : 41-42)
Pertemanan diantara orang shalih akan kekal hingga akhirat.
Ikatan pertemanan yang berlandaskan iman dan Islam, akan senantiasa utuh hingga di akhirat.
ALLAH Jalla wa Ala berfirman,
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman karib pada hari itu (pembalasan) akan bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf (43) : 67)
Sebaliknya orang-orang yang ikatan pertemanannya berlandaskan dunia dan hawa nafsu, maka akan saling mencela dan bermusuhan di akhirat.
Orang-orang yang berteman dengan teman-teman yang jelek agamanya di hari kiamat akan menyesal dengan penyesalan yang mendalam.
ALLAH Jalla wa ‘Ala berfirman,
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا (29)
“Pada hari ketika orang-orang zhalim menggigit jari tangan mereka, seraya berkata “Duhai, seandainya dahulu aku mengambil jalan bersama Rasul (utusan ALLAH). Duhai seandainya aku TIDAK MENJADIKAN FULAN TEMAN KARIBKU. Sesungguhnya dia telah menyesatkanku dari petunjuk (al-Qur’an) ketika ia datang kepadaku, dan sungguh setan benar-benar licik terhadap manusia.” (QS. al-Furqan (25) : 27-29)
Teman-teman yang jelek melalaikan hati anda dari mengingat ALLAH dan memberikan pengaruh buruk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan teman duduk yang SHALIH dengan teman duduk yang JELEK, seperti perumpamaan pedagang minyak wangi dengan pandai besi. Adapun pedagang minyak wangi, maka boleh jadi ia mengoleskan minyaknya kepadamu, atau engkau membeli darinya atau paling tidak engkau mendapatkan bau harum darinya. Adapun seorang pandai besi, maka akan membakar bajumu atau engkau mendapatkan bau apek darinya.” (HR. al-Bukhari & Muslim. Dari Abu Musa al-Asya’ari)
Seorang teman yang shalih tentu akan senantiasa menasehatimu dan mengingatkanmu kepada ALLAH, sedang teman yang jelek maka akan melalaikan dirimu dari mengingat ALLAH.
Sifat seseorang berbanding lurus dengan sifat teman dekatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Keshalihan seseorang itu sebagaimana keshalihan teman dekatnya, maka hendaknya kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman dekat.” (HR. Abu Dawud & Tirmidziy. Dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani).
Sekarang tengoklah diri kita, dengan siapa kita berteman dekat? Apakah dari golongan orang-orang shalih? Ataukah justru dari golongan orang-orang tidak shalih?
Segera benahi diri kita masing-masing, jika ingin menjadi baik maka sudah seyogyanya sekarang kita mulai mengambil orang-orang shalih sebagai teman dekat kita.
Pelajaran dari "Iyyaaka Na'budu wa Iyyaaka Nasta'iin"
Pelajaran Penting dari "Iyyaaka Na'budu wa Iyyaaka Nasta'iin"
بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam sholat kita selalu membaca firman Allah ta’ala,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.” [Al-Fatihah: 4]
Beberapa Pelajaran:
1) “Hanya kepada-Mu kami beribadah” adalah hakikat Tauhid Uluhiyah, yaitu meyakini hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar, adapun sesembahan selain Allah ta’ala adalah salah. Maka seorang hamba hanya boleh beribadah kepada Allah ta’ala yang satu saja, tidak boleh mempersembahkan ibadah kepada selain-Nya. Allah ta'ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Sesembahan) Yang Haq (Benar) dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, itulah yang batil (salah), dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [Al-Hajj: 62]
2) “Hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan” adalah hakikat Tauhid Rububiyah, yaitu meyakini hanya Allah ta’ala yang mencipta, menguasai dan mengatur, maka hanya Dialah yang mampu menolong kita, mengabulkan doa-doa kita dan menghilangkan kesusahan dari kita, sehingga hanya kepada-Nya kita bersandar (tawakkal) dan mohon pertolongan.
Oleh karena itu sangat mengherankan jika ada orang yang membaca ayat ini setiap hari namun tidak mentauhidkan Allah ta’ala dalam uluhiyah dan rububiyah, ada yang masih menganggap boleh-boleh saja beribadah kepada selain Allah karena itu hak asasi manusia, ketika ditimpa musibah bukannya minta tolong kepada Allah ta’ala malah lari ke dukun, kuburan keramat, mempersembahkan sesajen kepada setan, pake jimat, takut bulan sial, hari sial, angka sial, dan berbagai macam keyirikan serta kekufuran lainnya. Allah ta'ala berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ شَيْئًا وَلَا يَسْتَطِيعُونَ
“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezeki kepada mereka sedikit pun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit jua pun).” [An-Nahl: 73]
3) Ibadah membutuhkan pertolongan Allah ta’ala. Al-‘Allamah Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,
وذكر { الاستعانة } بعد { العبادة } مع دخولها فيها، لاحتياج العبد في جميع عباداته إلى الاستعانة بالله تعالى فإنه إن لم يعنه الله، لم يحصل له ما يريده من فعل الأوامر، واجتناب النواهي
“Dan disebutkan isti’anah (mohon pertolongan) setelah ibadah, padahal isti’anah juga ibadah, sebab seorang hamba membutuhkan pertolongan Allah ta’ala dalam seluruh ibadahnya, karena jika Allah ta’ala tidak menolongnya maka ia tidak akan berhasil dalam mengamalkan ibadah yang ia inginkan, apakah menjalankan perintah atau menjauhi larangan.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 39]
4) Kemampuan seorang hamba untuk beribadah kepada Allah ta'ala adalah nikmat dan karunia dari Allah ta'ala yang sangat besar, maka sepatutnya disyukuri dan tidak boleh berbangga diri ('ujub, kagum terhadap diri sendiri dan lupa bahwa keutamaan milik Allah ta'ala) serta tidak boleh pula menyombongkan diri (kibr, meremehkan orang lain). Allah ta'ala berfirman,
وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا
"Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu dan dapat beramal shalih) selama-lamanya." [An-Nur: 21]
5) Apabila dalam nikmat ibadah tidak patut untuk berbangga dan sombong maka dalam nikmat dunia tentu lebih tidak patut lagi. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
"Andaikan dunia di sisi Allah menyamai satu sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir meski hanya seteguk air." [HR. At-Tirmidzi dari dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu'anhu, Ash-Shahihah: 686]
بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam sholat kita selalu membaca firman Allah ta’ala,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.” [Al-Fatihah: 4]
Beberapa Pelajaran:
1) “Hanya kepada-Mu kami beribadah” adalah hakikat Tauhid Uluhiyah, yaitu meyakini hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar, adapun sesembahan selain Allah ta’ala adalah salah. Maka seorang hamba hanya boleh beribadah kepada Allah ta’ala yang satu saja, tidak boleh mempersembahkan ibadah kepada selain-Nya. Allah ta'ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Sesembahan) Yang Haq (Benar) dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, itulah yang batil (salah), dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [Al-Hajj: 62]
2) “Hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan” adalah hakikat Tauhid Rububiyah, yaitu meyakini hanya Allah ta’ala yang mencipta, menguasai dan mengatur, maka hanya Dialah yang mampu menolong kita, mengabulkan doa-doa kita dan menghilangkan kesusahan dari kita, sehingga hanya kepada-Nya kita bersandar (tawakkal) dan mohon pertolongan.
Oleh karena itu sangat mengherankan jika ada orang yang membaca ayat ini setiap hari namun tidak mentauhidkan Allah ta’ala dalam uluhiyah dan rububiyah, ada yang masih menganggap boleh-boleh saja beribadah kepada selain Allah karena itu hak asasi manusia, ketika ditimpa musibah bukannya minta tolong kepada Allah ta’ala malah lari ke dukun, kuburan keramat, mempersembahkan sesajen kepada setan, pake jimat, takut bulan sial, hari sial, angka sial, dan berbagai macam keyirikan serta kekufuran lainnya. Allah ta'ala berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ شَيْئًا وَلَا يَسْتَطِيعُونَ
“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezeki kepada mereka sedikit pun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit jua pun).” [An-Nahl: 73]
3) Ibadah membutuhkan pertolongan Allah ta’ala. Al-‘Allamah Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,
وذكر { الاستعانة } بعد { العبادة } مع دخولها فيها، لاحتياج العبد في جميع عباداته إلى الاستعانة بالله تعالى فإنه إن لم يعنه الله، لم يحصل له ما يريده من فعل الأوامر، واجتناب النواهي
“Dan disebutkan isti’anah (mohon pertolongan) setelah ibadah, padahal isti’anah juga ibadah, sebab seorang hamba membutuhkan pertolongan Allah ta’ala dalam seluruh ibadahnya, karena jika Allah ta’ala tidak menolongnya maka ia tidak akan berhasil dalam mengamalkan ibadah yang ia inginkan, apakah menjalankan perintah atau menjauhi larangan.” [Tafsir As-Sa’di, hal. 39]
4) Kemampuan seorang hamba untuk beribadah kepada Allah ta'ala adalah nikmat dan karunia dari Allah ta'ala yang sangat besar, maka sepatutnya disyukuri dan tidak boleh berbangga diri ('ujub, kagum terhadap diri sendiri dan lupa bahwa keutamaan milik Allah ta'ala) serta tidak boleh pula menyombongkan diri (kibr, meremehkan orang lain). Allah ta'ala berfirman,
وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا
"Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu dan dapat beramal shalih) selama-lamanya." [An-Nur: 21]
5) Apabila dalam nikmat ibadah tidak patut untuk berbangga dan sombong maka dalam nikmat dunia tentu lebih tidak patut lagi. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
"Andaikan dunia di sisi Allah menyamai satu sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir meski hanya seteguk air." [HR. At-Tirmidzi dari dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu'anhu, Ash-Shahihah: 686]
Langganan:
Postingan (Atom)